Firman Tuhan yang disampaikan melalui Nabi Yehezkiel ini bukan sekadar ramalan semata, melainkan sebuah peringatan keras dan panggilan untuk refleksi mendalam bagi umat pilihan-Nya. Ayat Yehezkiel 21:19 menyoroti sebuah momen krusial, sebuah titik persimpangan yang tragis dalam sejarah Israel. Tuhan memerintahkan Yehezkiel untuk mengarahkan pandangannya, hati, dan perkataannya bukan ke arah tanah yang subur atau tempat-tempat perayaan yang meriah, melainkan ke arah Yerusalem dan tempat-tempat kudusnya. Ini adalah isyarat bahwa fokus perhatian ilahi sedang dialihkan pada aspek spiritual dan kedaulatan yang sedang terancam.
Perintah untuk "menetapkan mukamu" dan "mengarahkan ke tempat-tempat kudusnya" menunjukkan intensitas dan keseriusan pesan yang akan disampaikan. Ini bukan tatapan sekilas, melainkan konsentrasi penuh pada pusat rohani dan politik bangsa Israel. Yerusalem, khususnya Bait Suci, adalah simbol kehadiran Tuhan di antara umat-Nya, pusat ibadah, dan jantung kehidupan nasional. Namun, di saat itu, tempat-tempat kudus ini sedang berada di ambang kehancuran. Nubuat terhadap tanah Israel menjadi resonansi dari kondisi spiritual yang memburuk, di mana dosa dan penyembahan berhala telah mengikis fondasi iman.
Lebih jauh dalam pasal yang sama, ayat-ayat berikutnya menjelaskan makna mendalam dari pengarahan pandangan ini. Tuhan menggarisbawahi bahwa raja Babel akan berdiri di persimpangan jalan, di tempat di mana kedua jalan bercabang. Satu jalan menuju kota Rabba orang Amon, dan jalan lainnya menuju Yehuda, menuju Yerusalem. Pilihan raja Babel ini, yang dipimpin oleh campur tangan ilahi, secara simbolis mencerminkan penentuan nasib umat Israel. Ini adalah gambaran kuat tentang dua jalan yang berbeda: jalan kebinasaan dan jalan pemulihan. Namun, yang ditunjukkan oleh Tuhan melalui Yehezkiel adalah bahwa jalan menuju Babel akan menjadi pilihan yang dominan, mengarah pada hukuman yang akan menimpa Yerusalem.
Konteks historisnya adalah penglihatan Yehezkiel yang disampaikan saat pembuangan ke Babel. Bangsa Israel telah berulang kali berpaling dari Tuhan, mengabaikan perjanjian mereka, dan membiarkan budaya asing meresapi kehidupan mereka. Akibatnya, Tuhan dalam keadilan-Nya mengizinkan bangsa lain, yaitu Babel, untuk menjadi alat penghukuman. Persimpangan jalan yang digambarkan oleh raja Babel adalah alegori dari situasi genting yang dihadapi Israel. Pilihan raja Babel untuk mengundi atau menggunakan tanda-tanda untuk menentukan arahnya sebenarnya adalah manifestasi dari kehendak Tuhan yang telah menetapkan hukuman. Jalan menuju Yerusalem dipenuhi dengan konsekuensi mengerikan dari dosa yang telah lama terakumulasi.
Pesan yang terkandung dalam Yehezkiel 21:19, dan kelanjutannya, sangat relevan hingga kini. Ini mengingatkan kita bahwa ada konsekuensi nyata dari pilihan-pilihan kita, baik secara individu maupun kolektif. Tuhan memberikan peringatan, memberikan kesempatan untuk bertobat, tetapi ketika jalan kebinasaan dipilih melalui ketidaktaatan yang terus-menerus, penghukuman pun tak terhindarkan. Namun, bahkan dalam penghukuman, ada janji pemulihan yang tersirat bagi mereka yang tetap setia. Ayat ini mengundang kita untuk secara serius memeriksa arah hidup kita, tempat-tempat "kudus" dalam hati dan kehidupan kita, dan memastikan bahwa kita selalu mengarahkan diri kita kepada Tuhan, bukan ke persimpangan yang mengarah pada kehancuran.