Ayat Yehezkiel 22:28 dengan jelas menyoroti sebuah realitas yang menyedihkan dalam sejarah rohani umat Israel. Ayat ini tidak hanya sekadar pengingat akan kegagalan para pemimpin rohani pada masa itu, tetapi juga sebuah peringatan yang relevan hingga kini. Dalam konteks nubuat ini, Yehezkiel diutus oleh Allah untuk menyampaikan firman-Nya kepada Yerusalem, sebuah kota yang telah begitu jauh menyimpang dari jalan kebenaran. Keadaan yang digambarkan dalam Yehezkiel 22 adalah sebuah potret kehancuran moral dan spiritual yang mendalam, di mana berbagai dosa dan pelanggaran merajalela, baik di kalangan rakyat biasa maupun para pemimpinnya.
Fokus dari ayat 28 ini adalah pada para nabi, yang seharusnya menjadi suara Allah di tengah umat-Nya, namun malah menjadi sumber kesesatan. Mereka disebut "menggarami bagi mereka," sebuah metafora yang mungkin merujuk pada upaya mereka untuk membuat kebohongan terlihat lebih dapat diterima atau menyenangkan. Alih-alih menyampaikan kebenaran yang menyelamatkan, mereka justru menyajikan "penglihatan yang sia-sia" dan "meramalkan kebohongan." Ini berarti bahwa apa yang mereka sampaikan bukanlah firman yang sejati dari Allah, melainkan karangan dan ilusi yang menyesatkan umat. Mereka menciptakan ilusi keamanan dan pembenaran atas dosa-dosa mereka, yang pada akhirnya membawa kehancuran.
Kata kunci "padahal TUHAN tidak berfirman" adalah inti dari dosa para nabi ini. Mereka secara terang-terangan mencuri firman Allah, atau lebih tepatnya, mengklaim berbicara atas nama Allah tanpa dasar yang sesungguhnya. Tindakan ini bukan hanya sebuah ketidakjujuran profesional, tetapi merupakan penistaan terhadap kekudusan dan otoritas Allah. Ini adalah perbuatan yang sangat serius di mata Tuhan, karena mengalihkan umat dari jalan kebenaran dan menjerumuskan mereka ke dalam kebinasaan. Para nabi palsu ini lebih mementingkan popularitas, keuntungan pribadi, atau mungkin hanya keinginan untuk menyenangkan orang banyak daripada kesetiaan kepada Allah.
Dampak dari nabi-nabi palsu semacam ini sangat merusak. Umat dibiarkan tanpa bimbingan rohani yang otentik. Mereka tidak diperingatkan tentang bahaya dosa dan konsekuensinya. Sebaliknya, mereka diberi obat penenang rohani yang palsu, yang menutupi penyakit mereka alih-alih menyembuhkannya. Keadaan ini mempersiapkan jalan bagi penghakiman ilahi yang tak terhindarkan. Ketika Allah akhirnya menghukum Yerusalem, para nabi palsu ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran yang menimpa bangsa itu.
Relevansi Yehezkiel 22:28 bagi zaman sekarang tidak dapat diabaikan. Di era informasi yang begitu luas, kita juga dihadapkan pada berbagai macam suara dan ajaran. Penting bagi setiap individu untuk memiliki kemampuan membedakan mana yang merupakan firman Allah yang sejati dan mana yang hanya merupakan suara menyesatkan yang dikemas dengan indah. Kita perlu menguji setiap ajaran, bukan hanya berdasarkan pengalaman pribadi atau daya tarik emosional, tetapi dengan membandingkannya dengan ajaran Kitab Suci secara keseluruhan. Kebenaran Allah bersifat kekal dan tidak berubah, dan kita dipanggil untuk hidup sesuai dengan kebenaran itu, bukan berdasarkan ramalan atau penafsiran yang dangkal yang dibuat oleh manusia.
Sebagai penutup, Yehezkiel 22:28 adalah pengingat akan pentingnya integritas rohani dan kejujuran dalam penyampaian ajaran. Ketika para pemimpin rohani mengutamakan kesetiaan kepada Allah di atas segala hal, mereka menjadi saluran berkat bagi umat-Nya. Sebaliknya, ketika mereka tersesat ke dalam kepalsuan, mereka hanya membawa kehancuran. Mari kita senantiasa merindukan dan mengikuti kebenaran yang murni, yang bersumber dari Allah sendiri.