Lalu aku datang ke Tel-Abib, tempat orang-orang yang tinggal di tepi sungai Kebar, dan aku tinggal di sana bersama mereka tujuh hari lamanya, dalam keadaan terpana.
Ayat Yehezkiel 3:23 menempatkan kita dalam momen krusial dalam kehidupan nabi Yehezkiel. Setelah menerima panggilan kenabian dan pesan pertama dari Tuhan, ia diperintahkan untuk pergi ke Tel-Abib, sebuah tempat yang dihuni oleh kaum buangan Israel di tepi sungai Kebar. Perintah untuk "tinggal di sana bersama mereka tujuh hari lamanya, dalam keadaan terpana" mengindikasikan periode persiapan dan introspeksi yang mendalam sebelum memulai tugas kenabiannya secara penuh. Keadaan "terpana" ini bukanlah kelemahan, melainkan respons alami terhadap kebesaran tugas yang diembannya, serta beratnya beban nubuat yang akan disampaikannya kepada umat yang keras kepala.
Sungai Kebar sendiri merupakan simbol pengasingan dan penderitaan umat Israel yang dibawa ke Babel. Di tengah kepedihan dan keputusasaan ini, Tuhan memilih untuk menempatkan Yehezkiel. Ini menunjukkan bahwa pesan ilahi seringkali disampaikan di tempat-tempat yang tidak terduga, bahkan di tengah kesulitan. Yehezkiel, yang telah melihat kemuliaan Tuhan di Bait Suci, kini harus menyatu dengan mereka yang hidup dalam pembuangan. Tujuh hari yang dihabiskan dalam keheningan dan keterkejutan adalah waktu untuk merenungkan kembali visi yang diterimanya, memahami realitas penderitaan umatnya, dan mempersiapkan diri untuk menyampaikan firman Tuhan dengan keberanian dan kejujuran.
Pesan Yehezkiel selalu berpusat pada keadilan dan kedaulatan Tuhan, bahkan di tengah hukuman. Ia adalah suara kenabian yang mengingatkan umat tentang konsekuensi dosa, namun juga membawa harapan pemulihan. Dalam konteks ini, pengalaman "terpana" Yehezkiel bisa dimaknai sebagai proses internalisasi kebenaran ilahi yang mendalam. Ia tidak hanya menerima pesan secara intelektual, tetapi merasakan beban dan dampaknya secara emosional. Hal ini menjadikannya seorang nabi yang otentik dan penuh belas kasih, yang berbicara bukan hanya dari kepala, tetapi dari hati yang dipenuhi oleh firman Tuhan.
Pesan Yehezkiel 3:23 mengajarkan kita bahwa persiapan diri seringkali membutuhkan waktu, keheningan, dan perenungan yang mendalam. Sebelum kita dapat menyampaikan kebenaran atau melayani orang lain, kita perlu mengalami transformasi pribadi dan menyelaraskan diri dengan kehendak Tuhan. Keadaan "terpana" ini juga bisa menjadi pengingat bahwa tugas-tugas rohani yang besar seringkali datang dengan rasa gentar dan kerendahan hati. Namun, di balik rasa gentar itu, ada kekuatan ilahi yang siap menopang dan membimbing.
Yehezkiel 3:23 adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang pelayanan kenabian. Ia mengingatkan kita bahwa pesan Tuhan, seberat apapun, harus disampaikan dengan kesetiaan, dan persiapan yang matang adalah kunci untuk membawa dampak yang abadi.