Yeremia 19:15

"Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: ‘Sesungguhnya, Aku akan mendatangkan malapetaka yang telah difirmankan-Nya ini ke atas kota ini dan ke atas segala kota yang di sekitarnya, karena mereka mengeraskan hati kepada-Ku, supaya jangan mereka mendengar perkataan-Ku.’"

Simbol Peringatan dan Wahyu

Sebuah simbol peringatan dan firman yang disampaikan.

Kitab Yeremia adalah salah satu kitab kenabian dalam Perjanjian Lama, yang penuh dengan seruan kenabian, peringatan, dan nubuat mengenai penghakiman ilahi terhadap bangsa Israel dan Yehuda. Yeremia, yang dikenal sebagai nabi peratap, menyampaikan pesan-pesan yang sering kali pahit namun penuh dengan kasih dan harapan ilahi yang mendalam. Ayat Yeremia 19:15 merupakan puncak dari serangkaian peringatan yang telah disampaikan nabi tersebut kepada umat Allah. Ayat ini menegaskan kembali ketegasan firman TUHAN dan konsekuensi serius dari ketidaktaatan.

Dalam konteks pasal 19, Yeremia diperintahkan untuk mengambil buyung tukang periuk dan pergi ke Lembah Ben-Hinom, tempat yang telah menjadi pusat penyembahan berhala dan pengorbanan anak-anak. Di sana, ia menyampaikan pesan penghakiman yang mengerikan dari Allah, yang akan datang atas Yerusalem sebagai akibat dari dosa-dosa mereka. Tindakan simbolis ini, yaitu memecahkan buyung, melambangkan kehancuran total yang akan menimpa kota itu dan penduduknya.

Ayat 19:15 secara eksplisit menyatakan, "Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: ‘Sesungguhnya, Aku akan mendatangkan malapetaka yang telah difirmankan-Nya ini ke atas kota ini dan ke atas segala kota yang di sekitarnya, karena mereka mengeraskan hati kepada-Ku, supaya jangan mereka mendengar perkataan-Ku.’" Frasa "mengeraskan hati" sangat penting di sini. Ini bukan sekadar kesalahan sesaat, tetapi sebuah penolakan yang disengaja dan berulang terhadap suara Tuhan. Umat Allah, bahkan setelah menerima firman dan peringatan yang tak terhitung jumlahnya, tetap memilih untuk tidak mendengarkan. Hati mereka telah menjadi tumpul terhadap kebenaran ilahi, menolak untuk mengubah jalan mereka yang sesat.

Konsekuensi dari kekerasan hati ini adalah "malapetaka." Ini merujuk pada penghakiman yang akan datang, yang sering kali diwujudkan melalui invasi asing, pembuangan, dan penderitaan yang luas. TUHAN semesta alam, Allah Israel, adalah penguasa tertinggi atas segala sesuatu, dan ketidaktaatan yang terus-menerus kepada-Nya tidak dapat dibiarkan tanpa konsekuensi. Namun, penting untuk dicatat bahwa penghakiman ini bukanlah tindakan kebencian semata, melainkan merupakan respons terhadap ketidaktaatan yang disengaja dan penolakan terhadap kasih karunia dan petunjuk ilahi.

Pesan dalam Yeremia 19:15 memiliki relevansi abadi bagi setiap generasi. Ini mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan firman Tuhan, merespons-Nya dengan hati yang terbuka, dan menghindari kekerasan hati yang dapat membawa kita menjauh dari berkat-Nya. Penolakan untuk mendengarkan suara kebenaran selalu memiliki konsekuensi, baik secara pribadi maupun komunal. Kebenaran ilahi, meskipun terkadang sulit diterima, selalu dimaksudkan untuk kebaikan kita, untuk membawa kita pada kehidupan yang benar dan hubungan yang kekal dengan Pencipta kita. Marilah kita merenungkan peringatan ini dan memilih untuk membuka hati kita, bukan mengeraskannya, terhadap suara Tuhan.