Yeremia 2:27

"Mereka berkata kepada pohon: 'Engkaulah bapaku!' dan kepada batu: 'Engkaulah ibuku!' Sebab mereka berbalik kepada-Ku dengan punggung, dan bukan dengan muka; tetapi pada waktu kecelakaan mereka berseru: 'Bangkitlah dan selamatkanlah kami!'"

Simbol pohon dan batu yang dihubungkan ke langit

Ayat Yeremia 2:27 memberikan gambaran yang kuat tentang kondisi spiritual umat Israel pada masa nabi Yeremia. Ayat ini menggambarkan sebuah pengingatan dan peringatan dari Tuhan, yang disampaikan melalui hamba-Nya, tentang penyembahan berhala yang merajalela. Mereka tidak lagi memandang Tuhan sebagai sumber kehidupan dan pelindung utama, melainkan berpaling kepada objek ciptaan mereka sendiri: pohon dan batu.

Pernyataan "Mereka berkata kepada pohon: 'Engkaulah bapaku!' dan kepada batu: 'Engkaulah ibuku!'" sangatlah ironis dan tragis. Pohon, yang tumbuh dari tanah dan pada akhirnya akan layu dan mati, serta batu, yang adalah benda mati dan tak bernyawa, dijadikan sebagai pengganti dari Sang Pencipta yang Maha Kuasa, Maha Hidup, dan Maha Pengasih. Ini menunjukkan betapa jauhnya mereka telah menyimpang dari kebenaran. Mereka telah menggantikan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan hubungan horizontal yang sia-sia dengan ciptaan. Konsep "bapa" dan "ibu" menyiratkan sumber asal, perlindungan, dan kasih sayang. Dengan menisbatkan hal-hal ini kepada pohon dan batu, mereka secara efektif menolak hak Tuhan sebagai Bapa dan Ibu surgawi mereka, serta menolak identitas sejati mereka sebagai umat perjanjian-Nya.

Selanjutnya, ayat ini menekankan kontras dalam perilaku mereka: "Sebab mereka berbalik kepada-Ku dengan punggung, dan bukan dengan muka." Perubahan posisi tubuh ini melambangkan penolakan, ketidakpedulian, dan pemberontakan. Berbalik dengan muka berarti menghadap, berbicara, dan berinteraksi. Namun, mereka memilih untuk memunggungi Tuhan, seolah-olah Ia tidak ada atau tidak penting. Ini adalah bentuk penghinaan yang mendalam, sebuah pengabaian total terhadap kasih dan anugerah Tuhan yang telah membimbing mereka keluar dari perbudakan di Mesir dan membawa mereka ke tanah perjanjian.

Namun, ayat ini tidak berhenti pada gambaran keterasingan mereka. Bagian terakhir memberikan pukulan telak terhadap kemunafikan mereka: "tetapi pada waktu kecelakaan mereka berseru: 'Bangkitlah dan selamatkanlah kami!'" Ketika masalah datang, ketika bencana melanda, ketika mereka menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka, barulah mereka teringat akan Tuhan. Seruan mereka bukan lahir dari kerinduan yang tulus untuk kembali kepada-Nya, melainkan dari keputusasaan dan ketakutan. Mereka seolah berkata, "Kami telah mengabaikan-Mu saat semuanya baik-baik saja, tetapi sekarang, ketika kami dalam kesulitan, Engkau harus datang menyelamatkan kami." Ini adalah doa yang tidak memiliki fondasi iman yang kuat, doa yang terlahir dari kebutuhan mendesak, bukan dari hubungan yang erat.

Yeremia 2:27 mengingatkan kita akan bahaya menyembah apa pun yang bukan Tuhan. Baik itu kesuksesan, kekayaan, status, maupun objek-objek materi, jika kita menempatkannya di atas Tuhan dalam hati kita, kita sama saja dengan berpaling kepada-Nya dengan punggung. Ayat ini juga mengajarkan bahwa hubungan yang sejati dengan Tuhan tidak hanya diuji saat masa sulit, tetapi juga saat masa-masa tenang. Kemunafikan terungkap ketika kita hanya berseru kepada Tuhan saat kita membutuhkan-Nya, tetapi melupakan-Nya saat kita tidak lagi berada dalam bahaya. Marilah kita belajar untuk selalu menghadap Tuhan, bukan memunggungi-Nya, dalam segala keadaan.