Kitab Yeremia seringkali menggambarkan tangisan dan peringatan yang mendalam dari seorang nabi yang menyaksikan kehancuran umatnya. Ayat Yeremia 2:36, dengan pertanyaan retorisnya, "Mengapa engkau begitu gelisah dan mondar-mandir ke sana kemari? Engkau pun akan mendapat malu, seperti engkau mendapat malu karena Mesir," adalah sebuah gambaran kuat tentang keputusasaan dan kegelisahan yang melanda bangsa Israel karena kesalahannya. Pertanyaan ini bukan sekadar pertanyaan biasa, melainkan sebuah teguran yang penuh kesedihan dari Allah melalui nabi-Nya.
Kegelisahan yang digambarkan di sini merujuk pada upaya bangsa Israel untuk mencari pertolongan dan keamanan bukan kepada Allah yang telah menyelamatkan mereka dari perbudakan di Mesir, melainkan kepada kekuatan duniawi yang pada akhirnya akan mengecewakan. Mereka "mondar-mandir ke sana kemari," mencari aliansi dan perlindungan dari bangsa-bangsa lain, seperti Mesir dan Asyur, yang seringkali justru menjadi sumber masalah dan penghinaan bagi mereka. Sejarah bangsa Israel penuh dengan momen di mana mereka berpaling dari Tuhan dan mencoba mencari jalan keluar mereka sendiri, hanya untuk mendapati diri mereka semakin terjerat dalam kesulitan.
Firman ini menyoroti sebuah pola yang tragis: ketika umat Tuhan lupa akan kesetiaan-Nya dan beralih kepada dunia, mereka akan mengalami "malu." Rasa malu ini bukan hanya sekadar kekecewaan, tetapi juga penghinaan yang mendalam. Ayat ini secara spesifik menyebutkan "malu karena Mesir," mengingatkan mereka akan masa lalu di mana mereka pernah mengandalkan Mesir, dan bagaimana hal itu membawa mereka pada penderitaan dan kehinaan. Namun, mereka tidak belajar dari sejarah. Mereka terus mengulangi kesalahan yang sama, mencari jalan keluar yang salah, dan pada akhirnya akan menghadapi konsekuensi yang sama, bahkan lebih buruk.
Yeremia 2:36 adalah panggilan untuk introspeksi. Mengapa kita, sebagai individu maupun sebagai umat, seringkali merasa gelisah dan bingung ketika menghadapi masalah? Apakah karena kita lupa untuk bersandar sepenuhnya pada Allah, Sang Pemelihara sejati? Apakah kita mencoba mencari solusi di tempat yang salah, mengandalkan kekuatan atau kebijaksanaan kita sendiri, atau mencari bantuan dari sumber-sumber yang tidak akan pernah memberikan kepastian? Kegelisahan seringkali merupakan gejala dari hati yang tidak tenang, sebuah tanda bahwa kita telah kehilangan arah spiritual kita.
Ayat ini mengajarkan kepada kita pentingnya kesetiaan. Kesetiaan kepada Allah bukan berarti hanya melakukan ritual atau upacara keagamaan, tetapi berarti mempercayai-Nya sepenuhnya, menempatkan harapan kita pada-Nya, dan menaati perintah-perintah-Nya. Ketika kita setia, kita akan menemukan kedamaian sejati, bukan kegelisahan yang terus-menerus. Sebaliknya, ketika kita berpaling dari-Nya, kita akan menemukan diri kita terus-menerus "mondar-mandir," mencari sesuatu yang tidak akan pernah bisa memuaskan kebutuhan terdalam kita, dan akhirnya hanya akan mendatangkan rasa malu dan kekecewaan. Firman ini adalah pengingat abadi bahwa hanya dalam Tuhan kita menemukan tempat berlindung yang aman dan kedamaian yang langgeng.