Ayat Yeremia 26:19 merupakan pengingat yang kuat tentang kebesaran kuasa dan belas kasih Tuhan, serta pentingnya ketundukan hati umat-Nya. Dalam konteks kitab Yeremia, ayat ini muncul di tengah-tengah peringatan keras tentang kejatuhan Yerusalem dan pembuangan bangsa Israel. Namun, di tengah ramalan penghukuman, muncul suara kenabian yang membawa harapan dan menunjuk pada teladan masa lalu.
Nabi Yeremia, dalam pembelaannya untuk menyelamatkan hidupnya dari penghakiman para imam dan nabi palsu, menunjuk kepada tindakan Raja Hizkia. Hizkia adalah raja Yehuda yang dikenang karena kesalehannya, ketaatannya kepada Tuhan, dan reformasi spiritual yang dilakukannya. Ketika Yehuda menghadapi ancaman besar dari Asyur, Hizkia tidak berserah pada kekuatan militer atau sekutu manusia, melainkan merendahkan diri di hadapan Tuhan, berdoa dengan sungguh-sungguh, dan mencari pimpinan-Nya.
Tuhan menjawab doa Hizkia dengan memberikan kemenangan atas musuh dan memperpanjang usianya. Inilah yang diacu oleh Yeremia: tindakan Hizkia yang takut akan TUHAN dan memohon belas kasihan-Nya telah mengubah ketetapan penghukuman menjadi pemulihan. Tuhan, yang Maha Pengasih, berbelas hati dan menyesal mendatangkan malapetaka yang telah difirmankan-Nya.
Penggunaan contoh Hizkia ini memiliki makna ganda. Pertama, ia menunjukkan bahwa Tuhan tidaklah kejam dan tidak mengenal ampun. Hukuman yang Ia firmankan bukanlah akhir dari segalanya, terutama jika ada respons pertobatan dan permohonan dari umat-Nya. Tuhan adalah Tuhan yang mendengarkan doa dan bersedia mengampuni.
Kedua, ayat ini menjadi dorongan bagi umat Tuhan pada masa Yeremia, dan bahkan bagi kita saat ini. Di tengah rasa takut dan keputusasaan atas malapetaka yang "dahsyat" yang mereka hadapi, teladan Hizkia mengingatkan mereka akan cara yang benar untuk mencari pertolongan. Cara itu bukanlah dengan persembunyian, penyangkalan, atau pemberontakan, melainkan dengan merendahkan hati, mengakui kelemahan, dan berseru kepada Tuhan.
Pertanyaan retoris yang diajukan oleh nabi ("Dan apakah tu-han-tuhan mereka membuat mereka dihukum? Bukankah itu adalah Hizkia...?") menekankan bahwa hukuman bukanlah nasib yang tak terhindarkan, melainkan konsekuensi dari ketidaktaatan dan keengganan untuk mengikuti jalan Tuhan. Sebaliknya, tindakan iman dan kerendahan hati seperti yang ditunjukkan Hizkia dapat membawa intervensi ilahi.
Jadi, Yeremia 26:19 bukan hanya sebuah catatan sejarah, tetapi sebuah ajaran teologis yang abadi. Ia mengajarkan tentang kedaulatan Tuhan yang bisa menyesali keputusan-Nya berdasarkan respons hati manusia. Ia juga menegaskan bahwa inti dari hubungan yang benar dengan Tuhan adalah ketakutan akan Dia (yang berarti hormat dan ketaatan mendalam) dan permohonan yang tulus akan belas kasihan-Nya. Ketika menghadapi kesulitan, kita diingatkan untuk meneladani Hizkia, menengadah ke langit, bukan ke dunia, mencari wajah Tuhan, dan memohon belas kasih-Nya.