"Dan ketika ia (Uria) membacakan firman itu kepada raja Yehuda, Yehoyakim, raja mengamuk dengan pedang di tangannya di depan Allah, dan ia mengoyakkan kitab itu, dan melemparkannya ke dalam api yang ada di atas perapian, sampai habis terbakar."
Ayat Yeremia 26:21 menggambarkan sebuah momen dramatis yang sarat makna dalam sejarah bangsa Israel. Kejadian ini menyoroti konflik antara kebenaran ilahi yang disampaikan melalui nabi-Nya dan penolakan serta kemarahan penguasa manusia. Nabi Uria, seperti Yeremia, diperintahkan oleh TUHAN untuk menyampaikan pesan penghakiman atas Yerusalem dan Yehuda kepada Raja Yehoyakim. Pesan ini berisi peringatan keras tentang konsekuensi dosa dan pemberontakan terhadap Allah.
Raja Yehoyakim, yang dikenal sebagai penguasa yang keras kepala dan tidak peduli pada firman Tuhan, bereaksi dengan kekerasan luar biasa. Ketika firman yang disampaikan oleh Uria dibacakan di hadapannya, amarah sang raja memuncak. Tanpa ragu, ia mengambil pedangnya dan dalam kemarahannya yang membabi buta, merobek kitab yang berisi firman Tuhan tersebut. Tindakan ini bukan sekadar perobekan kertas, melainkan sebuah penolakan terang-terangan terhadap otoritas Allah dan pesan yang dibawa-Nya. Kitab itu kemudian dilemparkan ke dalam api, simbol penghancuran total dan penolakan mutlak.
Dalam konteks yang lebih luas, pasal 26 Kitab Yeremia menceritakan tentang bagaimana Yeremia sendiri menghadapi tuduhan dan ancaman hukuman mati karena nubuatannya tentang kehancuran Bait Allah. Namun, para tua-tua dan seluruh rakyat, bersama para imam dan nabi, campur tangan untuk menyelamatkan nyawanya, mengingat contoh positif dari Nabi Mikha dari Moresyet yang menyampaikan nubuat serupa di masa Raja Hizkia dan Hizkia bertobat sehingga murka Tuhan ditarik kembali. Peristiwa yang melibatkan Uria ini menunjukkan sebaliknya: seorang raja yang memilih jalan kehancuran karena kesombongan dan penolakan.
Ayat Yeremia 26:21 mengingatkan kita akan bahaya besar ketika hati manusia menjadi tuli terhadap suara Tuhan. Kemarahan dan kebanggaan diri bisa membutakan seseorang dari kebenaran yang dapat menyelamatkannya. Raja Yehoyakim memilih untuk menghancurkan pesan itu, namun ia tidak bisa menghancurkan realitas ilahi di baliknya. Konsekuensi dari penolakannya terlihat jelas dalam sejarah bangsa Yehuda yang akhirnya jatuh ke tangan Babel dan Yerusalem beserta Bait Allah dihancurkan, sesuai dengan peringatan yang disampaikan oleh para nabi.
Kisah ini memiliki relevansi yang abadi. Ia mengajak setiap individu untuk merenungkan sikap kita terhadap firman Tuhan. Apakah kita mendengarkan dengan hati yang terbuka, siap untuk diperingatkan dan dibimbing? Atau apakah kita, seperti Raja Yehoyakim, cenderung menolak kebenaran yang tidak sesuai dengan keinginan kita, bahkan mungkin "membakar" pesan-pesan ilahi itu dengan cara kita sendiri, seperti mengabaikannya, meremehkannya, atau menyalahgunakannya? Pelajaran dari Yeremia 26:21 adalah sebuah peringatan yang kuat: menolak firman Tuhan berarti menolak berkat dan keselamatan-Nya, serta membuka diri pada konsekuensi yang menyakitkan.
Meskipun ayat ini mencatat penolakan yang tragis, keseluruhan narasi dalam Yeremia seringkali juga menyiratkan adanya harapan bagi mereka yang mau bertobat. Peristiwa Uria dan Raja Yehoyakim adalah sebuah peringatan, tetapi juga menjadi bagian dari gambaran yang lebih besar tentang kedaulatan Allah dan rencana-Nya yang menyeluruh, bahkan di tengah-tengah ketidaktaatan manusia. Pelajaran tentang kerendahan hati, ketaatan, dan penerimaan kebenaran tetap menjadi inti pesan ilahi yang terus bergema.