Yeremia 26:20 membawa kita ke dalam sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Ayat ini menyebutkan tentang seorang nabi bernama Uria bin Semaya, yang berasal dari Kiryat-Yearim. Uria tampil sebagai seorang nabi yang menyampaikan pesan kenabian yang sama dengan Yeremia, yaitu nubuat tentang kehancuran Yerusalem dan penghukuman ilahi jika bangsa itu tidak bertobat. Konteks ini penting untuk dipahami agar kita dapat menangkap kedalaman pesan dan keberanian yang terkandung di dalamnya.
Pada masa pemerintahan Raja Yoyakim, suasana politik dan spiritual di Yerusalem sangatlah genting. Bangsa Yehuda menghadapi ancaman dari kekuatan besar di utara, yaitu Babilonia. Yeremia, atas perintah Tuhan, telah berulang kali memperingatkan umat-Nya untuk tunduk pada kekuasaan Babilonia sebagai bentuk ketaatan dan pengakuan atas kedaulatan Tuhan. Namun, peringatan ini sering kali disambut dengan penolakan, kebencian, dan bahkan ancaman terhadap para nabi yang menyampaikannya.
Ayat Yeremia 26:20 secara spesifik menyoroti kesamaan pesan antara Yeremia dan Uria. Uria, seperti Yeremia, tidak gentar menyampaikan kebenaran yang pahit. Ia berani bersuara melawan arus, menegur dosa-dosa umat dan para pemimpin, serta menyampaikan nubuat tentang konsekuensi yang mengerikan. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya menggunakan satu utusan untuk menyampaikan firman-Nya. Ada kalanya, kebenaran itu diulang oleh beberapa hamba-Nya, sebagai penegasan dan panggilan terakhir sebelum penghakiman tiba.
Namun, nasib yang dialami oleh kedua nabi ini sangatlah berbeda. Yeremia menghadapi banyak kesulitan, penangkapan, dan penganiayaan, tetapi ia selamat dan terus bersaksi. Sebaliknya, Uria bin Semaya mengalami akhir yang tragis. Ia melarikan diri karena takut dibunuh oleh Raja Yoyakim dan para pejabatnya. Sayangnya, ia berhasil ditangkap kembali dan dibawa menghadap raja. Dengan brutal, Yoyakim menghunus pedang dan membunuh Uria, serta memerintahkan agar jenazahnya dilemparkan ke kuburan orang-orang biasa. Ini adalah tindakan kekerasan yang mencerminkan betapa para penguasa saat itu menolak untuk mendengar suara kenabian yang membawa berita buruk bagi mereka.
Kisah Uria dalam Yeremia 26:20 memberikan pelajaran penting tentang keadilan ilahi dan konsekuensi dari penolakan kebenaran. Tuhan adalah hakim yang adil, dan Dia tidak akan membiarkan kejahatan berlalu begitu saja. Nubuat tentang kehancuran Yerusalem bukanlah sekadar ancaman kosong, melainkan sebuah peringatan serius yang didasari oleh dosa-dosa bangsa itu. Namun, Tuhan juga penuh kasih dan memberikan kesempatan untuk bertobat.
Perilaku Raja Yoyakim yang membunuh Uria menunjukkan betapa dalamnya kerusakan moral dan penolakan terhadap Tuhan yang terjadi di antara para pemimpin Yehuda. Mereka lebih memilih untuk memuaskan diri dan mempertahankan kekuasaan daripada mendengarkan firman Tuhan yang dapat menyelamatkan mereka. Kematian Uria menjadi saksi bisu atas kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa yang menolak kebenaran.
Melalui kisah ini, kita diingatkan bahwa keberanian untuk menyampaikan kebenaran, bahkan ketika itu tidak populer, adalah sebuah kebajikan yang mulia. Namun, kita juga melihat bahwa kebenaran itu sendiri memiliki otoritas ilahi, dan penolakan terhadapnya pasti akan berakibat pada penghakiman. Semoga kisah Yeremia 26:20 menginspirasi kita untuk selalu mencari kebenaran, berani menyuarakannya, dan senantiasa hidup dalam pertobatan di hadapan Tuhan yang Maha Adil.