"Sebab sekalipun Hizkia, raja Yehuda, dan para pemimpinnya, serta para imam dan seluruh rakyat, telah mendengarkan perkataan Yeremia, hamba Allah, yang disampaikan kepadanya untuk tidak minum anggur, namun mereka tidak menuruti."
Ayat Yeremia 35:16 menyajikan sebuah refleksi penting mengenai ketaatan dan konsekuensinya. Dalam konteks pasal ini, kita diperlihatkan mengenai kaum Rekhab, sebuah suku nomaden yang hidup dengan cara yang sangat berbeda dari kebanyakan orang Israel. Mereka telah diperintahkan oleh nenek moyang mereka, Yonadab bin Rekhab, untuk tidak minum anggur, tidak membangun rumah, dan hidup dalam kemah. Perintah ini diberikan sebagai cara untuk menjaga identitas mereka dan menjauhkan diri dari pengaruh serta godaan gaya hidup perkotaan yang cenderung membawa kemerosotan moral dan spiritual.
Ketika nabi Yeremia diperintahkan oleh Allah untuk membawa kaum Rekhab ke Bait Suci dan menawarkan kepada mereka anggur, kita melihat sebuah ujian. Kaum Rekhab, meskipun awalnya ragu dan mengingatkan tentang perintah nenek moyang mereka, pada akhirnya dengan teguh menolak tawaran tersebut. Mereka menyatakan kesetiaan mereka pada tradisi dan perintah yang telah diwariskan turun-temurun.
Namun, ayat 16 ini justru menyoroti sisi lain dari ketaatan. Allah menggunakan ketaatan kaum Rekhab sebagai sebuah kontras yang tajam dengan ketidaktaatan umat Israel. Di sini, Allah membawa Yeremia untuk menawarkan anggur kepada kaum Rekhab. Alih-alih mengikuti contoh keteguhan kaum Rekhab, umat Israel, termasuk raja, para pemimpin, dan para imam, ternyata telah lama mengetahui perintah serupa atau ajakan untuk hidup lebih saleh, namun mereka justru tidak menuruti. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa Hizkia, raja Yehuda, bersama para pemimpinnya, para imam, dan seluruh rakyat, telah mendengar perkataan Yeremia, hamba Allah, untuk tidak minum anggur, namun mereka memilih untuk tidak patuh.
Ketidaktaatan ini menjadi sumber kesedihan dan kekecewaan bagi Allah. Di satu sisi, kaum Rekhab, yang merupakan orang asing dan bukan bagian dari perjanjian Allah secara langsung, menunjukkan kesetiaan yang luar biasa pada tradisi nenek moyang mereka. Ketaatan mereka menjadi kesaksian hidup bagi umat pilihan Allah. Di sisi lain, umat Israel, yang memiliki taurat, nabi-nabi, dan perjanjian dengan Allah, justru menunjukkan sikap yang jauh dari ketaatan. Mereka mendengar firman Allah melalui Yeremia, bahkan firman yang spesifik mengenai larangan minum anggur yang tampaknya sederhana, namun mereka mengabaikannya.
Pesan yang disampaikan melalui ayat ini sangat kuat. Ketaatan bukan hanya sekadar mengikuti aturan secara mekanis, tetapi melibatkan komitmen hati yang mendalam. Kaum Rekhab menunjukkan bahwa komitmen bisa begitu kuat sehingga mereka menolak godaan bahkan ketika ditawarkan oleh nabi Allah sendiri, demi menjaga kesetiaan pada leluhur mereka. Sebaliknya, umat Israel menunjukkan betapa mudahnya telinga mendengar namun hati mengeras. Mereka mungkin memiliki pengetahuan tentang kehendak Allah, tetapi tidak ada kemauan untuk bertindak sesuai dengannya.
Ini adalah sebuah peringatan yang relevan bagi kita saat ini. Seberapa sering kita mendengar nasihat, ajaran, atau bahkan teguran dari Firman Tuhan, namun kita memilih untuk tidak menuruti? Seberapa sering kita memberikan alasan atau menunda-nunda untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan? Kisah kaum Rekhab mengajarkan tentang kekuatan keteguhan hati dan kesetiaan, sementara umat Israel yang tidak taat dalam ayat Yeremia 35:16 menjadi cermin tentang bahaya ketidakpedulian rohani. Ketaatan yang tulus, sekecil apa pun itu, lebih berharga di mata Allah daripada sekadar pengetahuan tanpa tindakan. Ini adalah panggilan untuk memeriksa hati kita, apakah kita cenderung seperti kaum Rekhab yang teguh, atau seperti umat Israel yang mendengar namun tidak melaksanakan.