Yeremia 44 15: Peringatan Keras dan Konsekuensi

"Kemudian semua orang yang tahu bahwa istri mereka mempersembahkan korban kepada dewa-dewa asing, dan semua perempuan yang hadir di sana, sebagai orang banyak, serta seluruh penduduk perempuan di Tanah Mesir, di Patros, menjawab Yeremia: 'Tentang perkataan yang kausampaikan kepada kami dalam nama TUHAN, kami tidak akan mendengarkan engkau! Kami akan tetap melakukan segala yang telah kami tetapkan, yaitu mempersembahkan korban kepada Ratu Surga dan mencurahkan minuman kepadanya, seperti yang telah kami lakukan, kami dan nenek moyang kami, raja-raja kami dan pemimpin-pemimpin kami, di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Sebab pada waktu itu kami berkelimpahan makanan, dan kami merasa baik-baik saja, dan kami tidak melihat malapetaka. Tetapi sejak kami berhenti mempersembahkan korban kepada Ratu Surga dan mencurahkan minuman kepadanya, kami kekurangan segala-galanya dan kami binasa oleh pedang dan kelaparan.'"

Kisah dalam Yeremia pasal 44 menyajikan gambaran yang sangat gamblang mengenai penolakan umat Allah terhadap firman Tuhan. Ayat 15 menjadi puncak dari pengabaian ini, di mana sekelompok besar orang, baik laki-laki maupun perempuan, dengan lantang menyatakan ketidaktaatan mereka kepada nabi Yeremia, dan secara implisit, kepada Allah sendiri. Mereka tidak hanya menolak untuk mendengarkan, tetapi juga bertekad untuk melanjutkan praktik penyembahan berhala yang telah mereka jalani.

Apa yang mendorong mereka untuk bertindak demikian? Ayat-ayat selanjutnya memberikan petunjuk krusial. Mereka membandingkan kondisi mereka saat ini yang diliputi penderitaan—kekurangan makanan, pedang, dan kelaparan—dengan masa lalu ketika mereka masih giat mempersembahkan korban kepada "Ratu Surga". Bagi mereka, kemakmuran materi adalah bukti bahwa jalan mereka benar, dan kemunduran adalah akibat dari meninggalkan praktik tersebut. Ini adalah pandangan yang sangat keliru dan egois, yang mengabaikan kebenaran rohani yang mendalam.

Penyembahan kepada "Ratu Surga", yang diyakini sebagai dewi bintang atau dewi Asyera, adalah praktik yang dikecam keras oleh TUHAN melalui para nabi-Nya. Praktik ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum Taurat, tetapi juga menunjukkan hilangnya kepercayaan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah yang Mahakuasa. Mereka memilih untuk mengandalkan kekuatan ilahi buatan manusia yang mereka percayai dapat memberikan keuntungan duniawi, alih-alih berpegang teguh pada perjanjian dan kesetiaan kepada TUHAN.

Peringatan Yeremia bukanlah tanpa alasan. Ia berbicara atas nama TUHAN, mengingatkan mereka bahwa malapetaka yang mereka alami adalah akibat langsung dari ketidaktaatan dan pengabaian mereka terhadap perintah-Nya. Namun, hati mereka telah mengeras. Mereka lebih memilih untuk menyalahkan ketidakberuntungan mereka pada penghentian penyembahan berhala, daripada mengakui dosa mereka dan bertobat. Ini adalah karakteristik utama dari hati yang keras kepala: mencari alasan eksternal untuk penderitaan, daripada melakukan introspeksi dan mencari pemulihan melalui pertobatan.

Kisah ini membawa pesan universal yang relevan hingga kini. Menghadapi kesulitan hidup, banyak orang cenderung mencari solusi instan atau mengandalkan sumber daya duniawi yang menjanjikan kemudahan, alih-alih kembali kepada Tuhan dengan hati yang tulus. Konsekuensi dari penolakan firman Tuhan, seperti yang dialami oleh umat di Yeremia 44, dapat sangat menghancurkan. Penolakan terhadap kebenaran ilahi seringkali berujung pada kehancuran spiritual dan fisik. Yeremia 44 15 adalah pengingat tegas bahwa kesetiaan kepada Tuhan haruslah menjadi prioritas utama, melampaui kenyamanan dan keuntungan materi sesaat. Ketaatan yang tulus kepada firman-Nya adalah fondasi dari berkat dan pemeliharaan-Nya yang sejati.

Ilustrasi peringatan Nabi Yeremia tentang penyembahan berhala dan konsekuensinya.