Yeremia 44:17

"Tetapi kami pasti akan melakukan segala yang kami ucapkan, yakni membakar korban kepada ratu surgawi dan mempersembahkan offerings kepadanya, seperti yang pernah kami lakukan, baik kami maupun nenek moyang kami, raja-raja kami dan pemimpin-pemimpin kami, di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Sebab waktu itu kami makan sampai kenyang dan hidup baik, dan kami tidak mengalami malapetaka apa pun."

Ayat Yeremia 44:17 mencatat sebuah pengakuan yang sangat mengejutkan dari orang-orang Yehuda yang tersisa di Mesir. Setelah kehancuran Yerusalem dan pembuangan sebagian besar penduduknya oleh Babel, sekelompok orang Israel melarikan diri ke Mesir. Di sana, dalam konteks yang baru, mereka kembali pada praktik penyembahan berhala yang telah dikutuk berulang kali oleh para nabi Tuhan, termasuk Yeremia.

Pengakuan mereka sungguh gamblang. Mereka menyatakan dengan tegas, "Tetapi kami pasti akan melakukan segala yang kami ucapkan." Kata-kata ini bukan sekadar pernyataan niat, melainkan sebuah sumpah dan janji yang tak tergoyahkan. Fokus utama dari kesetiaan baru mereka adalah kepada "ratu surgawi" – sebuah dewi yang diasosiasikan dengan bintang-bintang, sering kali diidentifikasi sebagai Ishtar atau Astarte, dewi kesuburan dan peperangan yang popular di Timur Dekat kuno. Kepada dewi inilah mereka bersikeras untuk membakar korban dan mempersembahkan persembahan. Ini adalah tindakan yang secara eksplisit dilarang oleh Hukum Taurat Allah, yang menekankan keesaan dan kedaulatan-Nya.

Hal yang paling mencolok dari pengakuan ini adalah alasan di balik tindakan mereka. Mereka merujuk pada masa lalu, "seperti yang pernah kami lakukan, baik kami maupun nenek moyang kami, raja-raja kami dan pemimpin-pemimpin kami, di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem." Mereka membandingkan kondisi masa lalu mereka dengan situasi mereka saat itu. Ketika mereka masih menyembah dewi tersebut, mereka merasa "makan sampai kenyang dan hidup baik, dan kami tidak mengalami malapetaka apa pun." Kontras dengan nasib yang menimpa Yerusalem yang kini hancur, mereka melihat penyembahan berhala sebagai jaminan keamanan dan kemakmuran.

Pengakuan ini menjadi cerminan tragis dari penolakan manusia terhadap peringatan ilahi demi mengejar kenyamanan dan kepuasan sesaat. Terlepas dari bukti kehancuran yang disebabkan oleh ketidaktaatan, mereka memilih untuk kembali ke jalan yang telah terbukti membawa murka Allah. Yeremia, yang menyampaikan perkataan Allah, terus berupaya mengembalikan mereka kepada kebenaran, namun hati mereka telah mengeras. Mereka lebih memilih untuk mempercayai kekuatan ilah-ilah asing daripada kedaulatan dan janji Allah mereka yang sejati.

Kisah dalam Yeremia 44 ini memberikan pelajaran yang relevan bagi setiap zaman. Ia mengingatkan kita akan godaan untuk mencari jalan pintas, untuk mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran demi keamanan atau kenyamanan yang bersifat sementara. Seperti orang-orang Yehuda di Mesir, kita pun bisa tergoda untuk mengikuti arus dunia, meniru tradisi atau kebiasaan yang bertentangan dengan firman Tuhan, hanya karena kita melihat "keberhasilan" yang tampak dari orang lain yang melakukannya. Namun, Yeremia 44:17 adalah pengingat bahwa ketaatan sejati kepada Allah, meskipun terkadang penuh tantangan, adalah fondasi dari berkat dan keselamatan yang abadi. Sebaliknya, mengutamakan kesenangan duniawi dan penyembahan berhala modern akan membawa kita pada kehancuran yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.

Yeremia

Simbol ketaatan dan peringatan