"Tentang pesan yang kausampaikan kepada kami dalam nama TUHAN, kami tidak akan mendengarkannya! Kami pasti akan melakukan segala yang kami niatkan, yakni membakar korban serta mempersembahkan minuman kepada ratu syurga dan menyediakannya bagi kami, seperti yang pernah kami lakukan, baik kami maupun nenek moyang kami, raja-raja kami dan para pembesar kami, di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Karena waktu itu kami menjadi kenyang dengan roti dan segala sesuatu baik keadaan kami dan tidak melihat malapetaka."
Ayat Yeremia 44:16 menggambarkan sebuah momen tragis di mana umat Allah, yang telah melarikan diri ke Mesir setelah keruntuhan Yerusalem, secara terang-terangan menolak firman Tuhan yang disampaikan melalui nabi Yeremia. Pernyataan mereka yang tegas, "Tentang pesan yang kausampaikan kepada kami dalam nama TUHAN, kami tidak akan mendengarkannya!", mencerminkan kedalaman keras kepala dan pemberontakan spiritual mereka. Ini bukan sekadar ketidakpercayaan sesaat, melainkan sebuah keputusan kolektif untuk tetap berpegang pada praktik-praktik lama mereka, meskipun terbukti telah membawa kehancuran.
Mereka melanjutkan dengan menyatakan niat mereka untuk tetap melakukan ibadah kepada "ratu syurga" dan mempersembahkan korban kepadanya. Praktik ini, yang telah dikutuk oleh Tuhan melalui para nabi sebelumnya, merujuk pada pemujaan dewi-dewi langit yang lazim di kalangan bangsa-bangsa kafir di Timur Tengah. Bagi umat Israel yang pernah mengikat perjanjian dengan Tuhan, tindakan ini merupakan pengkhianatan spiritual yang serius. Mereka mengaitkan praktik lama ini dengan masa-masa kemakmuran yang pernah mereka alami, sebuah logika yang keliru dan membohongi diri sendiri. "Karena waktu itu kami menjadi kenyang dengan roti dan segala sesuatu baik keadaan kami dan tidak melihat malapetaka," demikian pengakuan mereka, menunjukkan bahwa mereka lebih memprioritaskan kenyamanan duniawi dan kepuasan sementara daripada ketaatan kepada Allah yang sejati.
Penolakan terhadap firman Tuhan ini menunjukkan sebuah pola pikir yang berbahaya: mengabaikan konsekuensi rohani demi kemudahan dan tradisi yang nyaman. Mereka lupa bahwa kemakmuran yang mereka nikmati di masa lalu bukanlah hasil dari pemujaan berhala, melainkan berkat dari Tuhan ketika mereka setia. Namun, ketika mereka berpaling dari Tuhan, malapetaka yang mereka hindari justru datang menghampiri mereka, sebagaimana yang telah dinubuatkan. Ayat ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya mendengarkan dan menaati firman Tuhan, bahkan ketika hal itu menantang kebiasaan atau keinginan pribadi. Menggantungkan harapan pada tradisi yang sesat atau kenyamanan sesaat tanpa mengindahkan perintah Tuhan adalah jalan yang pasti menuju kehancuran. Kehidupan spiritual yang sehat dibangun di atas fondasi ketaatan yang tulus kepada Allah, bukan pada kompromi dengan dunia atau penolakan terhadap kebenaran-Nya.