Yeremia 5:3 - Kesetiaan Allah Terhadap Umat-Nya

"TUHAN, bukankah mata-Mu tertuju kepada kesetiaan? Engkau memukul mereka, tetapi mereka tidak merasa sakit; Engkau menghabiskan mereka, tetapi mereka tidak mau menerima didikan. Hati mereka telah menjadi sekasar batu, tidak mau berbalik."
Kekerasan Hati

Gambaran kesetiaan yang diabaikan

Ayat Yeremia 5:3 menggambarkan sebuah realitas yang menyedihkan namun seringkali terjadi dalam hubungan antara Allah dan umat-Nya. Nabi Yeremia, melalui firman Tuhan, menyampaikan keprihatinan Ilahi terhadap ketidakpedulian umat Israel terhadap teguran dan hukuman yang diberikan. Ayat ini bukan sekadar ungkapan murka, melainkan sebuah kesaksian tentang kesetiaan Allah yang tak tergoyahkan, yang terus menerus berusaha menarik umat-Nya kembali kepada jalan yang benar.

Inti dari firman ini adalah pengamatan Tuhan terhadap kesetiaan umat-Nya. "TUHAN, bukankah mata-Mu tertuju kepada kesetiaan?" Pertanyaan retoris ini menunjukkan bahwa Allah sangat menghargai kesetiaan. Namun, respons umat-Nya terhadap kesetiaan itu sangat mengecewakan. Mereka terus menerus berbuat dosa, menyimpang dari perintah-Nya, dan mengabaikan tanda-tanda peringatan yang diberikan.

Bagian selanjutnya, "Engkau memukul mereka, tetapi mereka tidak merasa sakit; Engkau menghabiskan mereka, tetapi mereka tidak mau menerima didikan," menyoroti kegagalan mereka untuk belajar dari konsekuensi dosa. Hukuman dan teguran ilahi, yang seharusnya menjadi alat untuk menginsafkan dan mengarahkan kembali, justru tidak memberikan dampak yang berarti. Mereka seolah-olah kebal terhadap rasa sakit fisik maupun spiritual. Kehilangan berkat, penderitaan, atau bahkan ancaman kehancuran tidak mampu menggoyahkan kekerasan hati mereka.

Puncak dari deskripsi ini adalah pada kalimat, "Hati mereka telah menjadi sekasar batu, tidak mau berbalik." Hati yang keras seperti batu adalah metafora yang kuat untuk menggambarkan ketidakfleksibelan, ketidakmampuan untuk merespons, dan penolakan total terhadap perbaikan. Hati yang seharusnya menjadi pusat kesadaran, emosi, dan kehendak, telah mengeras sedemikian rupa sehingga tidak lagi mampu merasakan, merespons, atau bahkan berkeinginan untuk kembali kepada Tuhan. Kesetiaan Allah terus ada, tetapi hati umat-Nya telah menutup diri.

Dalam konteks sejarah Israel, ayat ini merujuk pada periode di mana umat tersebut semakin terjerumus dalam kemurtadan dan kejahatan. Mereka meninggalkan perjanjian dengan Tuhan, menyembah berhala, dan melakukan ketidakadilan sosial. Walaupun Tuhan terus mengutus nabi-nabi untuk memperingatkan mereka, memberikan kesempatan bertobat, dan bahkan mengizinkan hukuman datang, Israel tetap keras kepala. Kekerasan hati ini akhirnya membawa mereka pada pembuangan dan kehancuran.

Namun, di balik gambaran kekerasan hati ini, ayat Yeremia 5:3 juga mengingatkan kita akan sifat Allah yang tak pernah berhenti mencari umat-Nya. Kesetiaan Allah adalah sebuah kebenaran yang abadi. Dia tidak pernah meninggalkan perjanjian-Nya, meskipun umat-Nya seringkali melupakannya. Hukuman yang diberikan bukanlah semata-mata untuk menghancurkan, tetapi juga untuk membersihkan dan memulihkan. Keseluruhan narasi Yeremia, termasuk ayat ini, merupakan seruan kepada pertobatan, sebuah undangan untuk membuka hati yang telah mengeras, dan kembali kepada sumber kehidupan dan kesetiaan sejati, yaitu Allah sendiri.

Pesan Yeremia 5:3 tetap relevan hingga kini. Kita seringkali dihadapkan pada kesempatan untuk merenungkan kesetiaan kita kepada Tuhan. Apakah hati kita terbuka untuk menerima teguran-Nya, ataukah telah menjadi sekasar batu? Allah tetap setia, menunggu kita untuk berbalik. Marilah kita merespons kesetiaan-Nya dengan hati yang lembut dan mau belajar, agar kita tidak kehilangan berkat dan kasih karunia-Nya.