Hikmat Sejati

Ilustrasi sederhana: gelombang laut berwarna teal cerah dengan teks "Hikmat Sejati" di atasnya.

Yeremia 9:21

"Sebab hikmat orang-orangnya telah lenyap, dan orang-orangnya berakal budi. Para tukang tenun pun tidak lagi dapat menenun; orang pandai pun tidak lagi mengerti apa yang mereka perbuat."

Refleksi Mengenai Kebijaksanaan yang Terabaikan

Ayat Yeremia 9:21 menghadirkan gambaran yang cukup memprihatinkan tentang sebuah masyarakat yang telah kehilangan inti dari pemahaman dan keahlian. Nabi Yeremia, melalui firman Tuhan, menyampaikan pesan keras mengenai kemerosotan moral dan intelektual yang melanda umat-Nya. Kata-kata ini bukan sekadar deskripsi masa lalu, tetapi sebuah peringatan yang relevan hingga kini, terutama ketika kita melihat bagaimana dunia modern sering kali merayakan pengetahuan dangkal dan mengabaikan hikmat yang mendalam.

"Hikmat orang-orangnya telah lenyap, dan orang-orangnya berakal budi." Frasa ini membuka tabir sebuah realitas yang pahit. Bukan berarti masyarakat tidak memiliki individu yang cerdas atau berpendidikan. Namun, kecerdasan itu tidak lagi diarahkan pada kebenaran, keadilan, atau pemahaman yang sejati. Akal budi yang dimiliki tidak lagi menghasilkan kebijaksanaan yang mendatangkan kebaikan, melainkan mungkin terfokus pada kepentingan diri sendiri, tipu muslihat, atau sekadar akumulasi informasi tanpa makna. Ini adalah kondisi di mana seseorang bisa sangat mahir dalam bidangnya, namun kehilangan kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih besar atau untuk membuat keputusan yang benar secara moral.

Analogi "Para tukang tenun pun tidak lagi dapat menenun; orang pandai pun tidak lagi mengerti apa yang mereka perbuat" semakin memperjelas kemunduran ini. Menenun adalah sebuah seni yang membutuhkan ketelitian, pemahaman bahan, dan keterampilan untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan indah. Ketika para penenun kehilangan kemampuannya, ini menunjukkan hilangnya keterampilan dasar dan pemahaman tentang bagaimana fungsi segala sesuatu. Demikian pula, "orang pandai" yang tidak lagi mengerti apa yang mereka perbuat mengindikasikan kekacauan dalam penalaran dan tujuan. Keahlian yang ada menjadi sia-sia karena tidak ada lagi pemahaman tentang tujuan atau aplikasi yang benar dari keahlian tersebut.

Bahaya Kesombongan Diri dan Kehilangan Arah

Seringkali, hilangnya hikmat ini berakar pada kesombongan diri. Ketika manusia merasa telah mencapai puncak pengetahuan atau kemampuan, mereka cenderung menolak sumber kebijaksanaan yang lebih tinggi, baik itu dari Tuhan, pengalaman orang lain, atau prinsip-prinsip moral universal. Mereka menjadi puas diri dengan pencapaian intelektual mereka yang dangkal dan berhenti mencari kebenaran yang sejati. Ini adalah jebakan yang sangat berbahaya, karena membuat seseorang merasa aman dan benar, padahal sebenarnya mereka sedang bergerak menuju kehancuran.

Dalam konteks spiritual, Yeremia 9:21 adalah seruan untuk kembali kepada sumber hikmat yang sejati, yaitu Tuhan. Hikmat yang berasal dari-Nya bukan sekadar pengetahuan, tetapi pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, tujuan, dan kehendak-Nya. Tanpa hikmat ini, segala upaya manusia, sekecil apa pun, akan menjadi sia-sia. Kita diingatkan untuk tidak hanya mengumpulkan informasi, tetapi untuk mencari pemahaman yang mengubah hidup dan mengarahkan kita pada jalan yang benar.

Mari kita renungkan ayat ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah kita sedang membangun hikmat yang sejati, atau hanya mengumpulkan pengetahuan yang bersifat sementara? Apakah kita merendahkan hati untuk belajar dan memahami, ataukah kesombongan telah menutup pintu hati kita? Kebijaksanaan yang hilang adalah sebuah tragedi, dan mencari hikmat yang ilahi adalah sebuah keharusan bagi setiap jiwa yang ingin menemukan makna dan tujuan yang sesungguhnya.