1 Raja-Raja 20:34

"Dan raja itu berkata kepadanya: 'Di mana ayahnya?' Maka jawabnya: 'Aku hamba saudaramu, Ben-Hadad.' Lalu raja berkata kepadanya: 'Bawalah dia kemari kepadaku.' Maka ia membawanya kepada raja."

Simbol tangan yang saling terhubung untuk menunjukkan bantuan atau dukungan.

Kisah yang terukir dalam Kitab 1 Raja-Raja pasal 20, ayat 34, membawa kita pada sebuah momen krusial dalam hubungan antara Kerajaan Israel dan Kerajaan Aram di Damsyik. Ayat ini mencatat sebuah interaksi yang tampaknya sederhana namun sarat dengan makna teologis dan strategis, terutama terkait dengan apa yang terjadi pada Raja Ben-Hadad dari Aram.

Sebelum ayat ini dibacakan, kita perlu memahami konteksnya. Raja Ben-Hadad sebelumnya telah menyerang Israel dengan kekuatan yang sangat besar, bahkan datang dalam tiga gelombang penyerangan yang dilancarkan oleh 32 raja yang dipimpinnya. Pasukan Israel yang dipimpin oleh Raja Ahab, meskipun kalah jumlah, berhasil memenangkan pertempuran berkat pertolongan Tuhan. Dalam pertempuran kedua, Tuhan kembali memberikan kemenangan bagi Israel, yang membuat Ben-Hadad melarikan diri ke Afek dan bersembunyi di dalam kota.

Kemudian, para prajurit Israel mengejar dan mengepung kota tersebut. Dalam situasi yang terdesak inilah, Ben-Hadad, yang mungkin dalam keadaan lemah dan putus asa, keluar dari persembunyiannya. Ia memerintahkan para hambanya untuk mengenakan pakaian pertobatan yang kasar, yaitu goni, dan mengikatkan tali di kepala mereka. Ini adalah sebuah tindakan yang menunjukkan kerendahan hati, pengakuan atas kesalahan, dan permohonan belas kasihan di tengah masyarakat Timur Kuno.

Lalu, mereka pergi menghadap Raja Ahab dari Israel, dengan Ben-Hadad sendiri ikut serta. Di sinilah ayat 34 menjadi pusat perhatian: "Dan raja itu berkata kepadanya: 'Di mana ayahnya?' Maka jawabnya: 'Aku hamba saudaramu, Ben-Hadad.' Lalu raja berkata kepadanya: 'Bawalah dia kemari kepadaku.' Maka ia membawanya kepada raja."

Pernyataan Ben-Hadad yang menyebut dirinya sebagai "hamba saudaramu, Ben-Hadad" sangatlah menarik. Ia tidak lagi menyebut dirinya sebagai raja yang berkuasa, tetapi merendahkan diri di hadapan Ahab. Ada beberapa interpretasi mengenai ucapan ini. Ada yang melihatnya sebagai pengakuan bahwa ia, sebagai seorang yang kalah, kini menjadi budak dari Ahab. Lainnya menafsirkan "saudaramu" sebagai bentuk kesopanan dan pengakuan atas keunggulan Ahab yang telah diberikan kemenangan oleh Tuhan. Apapun nuansanya, inti dari pernyataannya adalah pengakuan kekalahan total dan penyerahan diri.

Respons Ahab adalah kejutan. Alih-alih menghukum mati Ben-Hadad yang telah menjadi musuh bebuyutannya dan telah membawa begitu banyak kehancuran, Ahab menunjukkan belas kasihan yang tak terduga. Perintahnya untuk "Bawalah dia kemari kepadaku" menunjukkan keinginan untuk berbicara langsung dan membuat kesepakatan. Pengampunan yang diberikan oleh Ahab ini, yang di kemudian hari akan menjadi ironi tragis karena Ben-Hadad tidak menepati janjinya dan bahkan terus mengancam Israel, mencerminkan kemurahan hati yang tidak sesuai dengan keadaan perang yang pahit.

Dari ayat 1 Raja-Raja 20:34 ini, kita belajar tentang kekuatan pertobatan dan kerendahan hati. Ben-Hadad, seorang raja yang sombong, dihadapkan pada kenyataan kekalahannya dan memilih untuk menunjukkan penyesalan. Hal ini membuka jalan bagi pengampunan dan rekonsiliasi, meskipun sementara. Ayat ini juga menyoroti sifat manusia yang seringkali kompleks: di satu sisi ada keangkuhan dan permusuhan, di sisi lain ada potensi belas kasihan dan pengampunan, bahkan ketika itu tampaknya tidak masuk akal secara politik atau militer. Kisah ini mengajarkan bahwa bahkan musuh yang paling keras pun, ketika mereka merendahkan diri, dapat menemukan jalan menuju belas kasihan.