1 Tawarikh 15:29

"Ketika tabut perjanjian TUHAN itu sampai ke kota Daud, Mikhal binti Saul menjenguk dari jendela, dan ketika ia melihat raja Daud sedang melompat-lompat dan bermain-main, ia memandang rendah dia dalam hatinya."

Mengarak Tabut ke Yerusalem: Sukacita dan Tantangan

Peristiwa penting dalam sejarah Israel kuno tercatat dalam Kitab 1 Tawarikh, pasal 15 ayat 29. Ayat ini menggambarkan momen ketika Tabut Perjanjian, simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya, akhirnya dibawa ke Yerusalem, kota yang dipilih oleh Raja Daud sebagai pusat spiritual dan politik kerajaannya. Ini adalah puncak dari upaya panjang Raja Daud untuk menyatukan umat Israel di bawah kepemimpinan yang kuat dan, yang terpenting, untuk membawa Tabut yang telah lama terpisah itu kembali ke tempatnya yang semestinya.

Proses membawa Tabut bukanlah tanpa kesulitan. Sejarah mencatat kegagalan pertama yang berakhir dengan kematian Uza, yang mencoba menopang Tabut agar tidak jatuh. Pelajaran pahit ini membuat Daud menunda pengangkatan Tabut, dan baru setelah mempelajari Firman Tuhan dengan benar dan mempersiapkan diri dengan ritual yang kudus, ia melanjutkan upaya kedua. Kali ini, prosesnya dilakukan dengan penuh kegembiraan, nyanyian, dan pujian kepada TUHAN.

Tabut

Ilustrasi sederhana Tabut Perjanjian di atas pedestal.

Dalam momen puncak kegembiraan itu, Raja Daud menari-nari dengan segenap hati di hadapan TUHAN. Tindakannya mencerminkan semangat penyembahan yang tulus dan luapan syukur atas kembalinya kehadiran Allah. Ia merendahkan dirinya, melepaskan pakaian kebesaran raja, dan berpartisipasi dalam kemeriahan seperti orang kebanyakan. Inilah esensi dari penyembahan yang sejati: hati yang bersukacita dan berserah sepenuhnya kepada Allah.

Namun, tidak semua orang menangkap semangat yang sama. Ayat ini secara spesifik menyebutkan reaksi Mikhal, putri Saul, istri Daud. Dari jendela istananya, ia menyaksikan kegembiraan Daud. Alih-alih ikut merasakan sukacita atau menghargai ketulusan suaminya, Mikhal memandang rendah Daud dalam hatinya. Ia melihat tindakan Daud sebagai sesuatu yang tidak pantas bagi seorang raja, mungkin karena ia masih terbelenggu oleh tradisi dan pandangan dunia lama yang menekankan martabat dan kekuasaan lahiriah.

Reaksi Mikhal ini menyoroti adanya jurang pemisah antara pandangan duniawi dan rohani. Ia tidak mampu melihat kedalaman iman Daud, pemahamannya tentang pentingnya kehadiran Allah, dan sukacita yang meluap karena Allah kembali berdiam di tengah umat-Nya. Ayat ini menjadi pengingat bahwa penyembahan sejati seringkali tidak dapat dipahami atau dihargai oleh mereka yang hanya melihat dari sudut pandang lahiriah. Keinginan untuk menyenangkan Allah bisa saja ditafsirkan sebagai sesuatu yang aneh atau tidak pantas oleh orang lain.

Kisah ini mengajarkan kita pentingnya memiliki hati yang bersukacita dan berserah dalam ibadah kita kepada Tuhan. Terkadang, kita mungkin menghadapi pandangan kritis atau ketidakpahaman dari orang lain. Namun, yang terpenting adalah hati kita yang tulus di hadapan Allah. Seperti Daud, biarlah kita berani mengekspresikan iman kita dengan penuh sukacita, bahkan jika itu berarti berbeda dari apa yang diharapkan oleh dunia. Peristiwa ini juga mengingatkan bahwa persatuan rohani dalam menyambut kehadiran Tuhan adalah hal yang utama, dan perbedaan persepsi individu bisa menjadi tantangan yang perlu dihadapi dengan hikmat dan kesabaran.