Pada waktu itu raja Hizkia mengambil perak dan emas dari gedung Bait TUHAN dan dari perbendaharaan istana raja, lalu mengirimkannya kepada raja Asyur sebagai upeti.
Ayat 2 Raja-raja 18:16 mencatat sebuah peristiwa penting dalam sejarah Kerajaan Yehuda, yaitu tindakan raja Hizkia dalam menghadapi ancaman invasi dari raja Asyur. Dalam situasi genting ini, Hizkia memilih untuk membayar upeti dengan kekayaan yang dimilikinya, termasuk emas dan perak dari Bait TUHAN. Keputusan ini diambil bukan tanpa pertimbangan, namun demi menghindari peperangan dan potensi kehancuran yang lebih besar bagi rakyatnya.
Tindakan Hizkia, meskipun terkesan sebagai sebuah kompromi terhadap kekuatan asing, pada dasarnya adalah upaya untuk menjaga kelangsungan hidup bangsanya. Ia menyadari bahwa kekuatan militernya saat itu tidak mampu menandingi keperkasaan Asyur yang telah menaklukkan banyak kerajaan. Oleh karena itu, strategi diplomatik dan pemberian upeti menjadi pilihan yang diambil untuk sementara waktu. Ayat ini menggambarkan kerentanan sebuah bangsa di hadapan kekuatan dominan, dan bagaimana para pemimpin terkadang harus membuat keputusan sulit yang melibatkan pengorbanan materi demi keselamatan umatnya.
Perlu dicatat bahwa dalam konteks sejarah yang lebih luas, Hizkia dikenal sebagai raja yang saleh dan melakukan reformasi rohani yang signifikan. Ia berupaya mengembalikan umat Israel kepada penyembahan kepada TUHAN yang benar, menghancurkan berhala-berhala, dan memperbaiki praktik keagamaan. Tindakan membayar upeti ini terjadi sebelum penyerangan Sanherib ke Yerusalem, yang kemudian diakhiri dengan campur tangan ilahi yang ajaib.
Kisah Hizkia dalam 2 Raja-raja memberikan pelajaran berharga tentang kepemimpinan, keberanian, dan kepercayaan. Meskipun dalam ayat ini Hizkia terlihat menyerah pada tuntutan Asyur, namun seluruh kisahnya menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang teguh pada imannya. Ia menunjukkan bahwa bahkan dalam menghadapi tekanan luar biasa, fokus pada ketaatan kepada Tuhan dan upaya menjaga umat dari kehancuran tetap menjadi prioritas utama.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa kemakmuran materi, meskipun penting, bukanlah segalanya. Keamanan dan kedaulatan sebuah bangsa seringkali harus diperjuangkan melalui berbagai cara, termasuk negosiasi, diplomasi, dan terkadang, pengorbanan. Bagi Hizkia, kekayaan Bait TUHAN bukanlah harta yang disimpan untuk dirinya sendiri, melainkan sumber daya yang dapat digunakan dalam situasi darurat untuk melindungi rakyat yang dipercayakan kepadanya.
Pada akhirnya, keberhasilan Hizkia dalam menghadapi Sanherib bukanlah semata-mata karena strategi politik atau kekayaan yang ia miliki, melainkan karena imannya yang teguh kepada TUHAN. Ayat 2 Raja-raja 18:16 adalah satu fragmen dari kisah yang lebih besar, yang menunjukkan bahwa bahkan keputusan yang tampaknya lemah atau kompromi pun bisa menjadi bagian dari rencana yang lebih besar untuk menjaga harapan dan keselamatan.