Ayat ini berasal dari percakapan antara utusan raja Asyur, Sanherib, dengan para pejabat Yerusalem. Sanherib sedang mengepung kota itu dan berusaha untuk membuat penduduknya menyerah. Kata-kata ini diucapkan oleh Rabsyakeh, juru bicara Sanherib, sebagai bagian dari strategi propaganda untuk menebar ketakutan dan keraguan.
Dalam konteks sejarahnya, ayat ini menyoroti momen krusial ketika iman umat Tuhan diuji oleh ancaman besar. Kerajaan Asyur pada masa itu adalah kekuatan militer yang sangat dominan, dikenal karena kekejaman dan kemampuannya menaklukkan bangsa-bangsa. Sanherib sendiri memiliki rekam jejak penaklukan yang mengesankan, dan klaimnya tentang dewa-dewa bangsa lain yang gagal melindungi mereka bukanlah tanpa dasar sejarah.
Rabsyakeh menggunakan logika duniawi untuk meruntuhkan keyakinan rohani. Ia menantang umat Tuhan untuk membandingkan kekuatan TUHAN dengan kekuatan dewa-dewa lain yang telah terbukti tidak mampu mencegah penaklukan. Ia ingin mereka percaya bahwa TUHAN pun akan sama saja, dan satu-satunya cara untuk selamat adalah dengan menyerah kepada raja Asyur.
Namun, di sinilah letak keindahan dan kekuatan sejati firman Tuhan. Ayat ini, meskipun diucapkan oleh musuh, justru menjadi pengingat bagi kita tentang pentingnya kepercayaan yang teguh kepada TUHAN, terlepas dari situasi yang kita hadapi. Hizkia, raja Yehuda pada masa itu, adalah seorang pemimpin yang berusaha untuk mengembalikan umatnya kepada Tuhan. Ia mendengarkan nubuat nabi Yesaya dan bersandar pada janji Tuhan.
Pertanyaan retoris Rabsyakeh tentang kegagalan dewa-dewa lain seharusnya tidak membuat umat Tuhan berkecil hati, melainkan memicu refleksi yang lebih dalam. TUHAN Israel bukanlah dewa seperti dewa bangsa lain. Dia adalah Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Kuasa, yang berdaulat atas segala sesuatu. Kepercayaan kepada-Nya bukan didasarkan pada perbandingan kekuatan manusiawi, melainkan pada sifat dan janji-Nya yang kekal.
Pesan dari 2 Raja-Raja 18:31 ini sangat relevan bagi kehidupan kita di masa kini. Kita mungkin menghadapi kesulitan, ketakutan, atau keraguan yang terasa seperti kepungan yang tak terhindarkan. Tantangan datang dalam berbagai bentuk: masalah keuangan, kesehatan, hubungan, atau bahkan krisis global. Seringkali, akal sehat dan pengalaman duniawi dapat mendorong kita untuk mencari solusi sendiri atau menyerah pada keputusasaan.
Namun, firman Tuhan melalui ayat ini memanggil kita untuk tidak mendengarkan suara keraguan yang mencoba meruntuhkan iman kita. Kita dipanggil untuk menolak logika yang hanya mengukur kekuatan berdasarkan apa yang terlihat. Sebaliknya, kita diundang untuk memercayai TUHAN, bahkan ketika segala sesuatu tampak tidak mungkin. Kepercayaan kepada Tuhan bukanlah tindakan kebutaan, tetapi penyerahan diri kepada Dia yang mengetahui segalanya dan memiliki kekuatan untuk bertindak.
Hizkia dan umatnya akhirnya mengalami campur tangan Tuhan yang ajaib. TUHAN mendengarkan doa Hizkia dan mengutus malaikat-Nya untuk membinasakan seratus delapan puluh lima ribu tentara Asyur dalam satu malam. Ini adalah bukti bahwa TUHAN Israel jauh melampaui dewa-dewa lain dan kekuatan duniawi.
Marilah kita jadikan ayat ini sebagai pengingat untuk selalu memelihara iman kita. Ketika suara keraguan berusaha menyesatkan kita, ingatlah bahwa TUHAN tidak pernah gagal. Dia adalah sumber kekuatan, perlindungan, dan harapan kita. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hati, dan Dia akan menolong kita melewati segala badai kehidupan.
Lebih lanjut, kita dapat merenungkan bagaimana kita merespons keraguan dalam hidup kita. Apakah kita cenderung bergantung pada perhitungan logis semata, ataukah kita juga melibatkan iman kepada Tuhan? Ayat ini mendorong kita untuk menyeimbangkan kedua aspek tersebut, mengizinkan iman kita untuk memimpin ketika logika duniawi mencapai batasnya.
Kisah Hizkia dan 2 Raja-Raja 18:31 menawarkan pelajaran berharga tentang kekuatan kebertahanan iman di tengah ancaman dan keraguan. Itu adalah panggilan abadi untuk menyerahkan kekhawatiran kita kepada Sang Pencipta yang Maha Kuasa, dan untuk memegang teguh janji-janji-Nya.
Mari kita terus bertumbuh dalam kepercayaan kita, mengetahui bahwa seperti halnya TUHAN tidak pernah meninggalkannya, Dia juga akan selalu menyertai kita dalam setiap langkah perjalanan kita. Ketenangan dan kekuatan sejati ditemukan dalam bersandar pada Dia.