"Janganlah kamu mendengarkan Hizkia, sebab beginilah katanya: TUHAN pasti akan melepaskan kita."
Ayat 2 Raja-raja 18:32 merupakan bagian dari narasi dramatis dalam Kitab Suci yang mencatat peristiwa pengepungan Yerusalem oleh tentara Asyur di bawah Raja Sanherib. Dalam konteks ini, juru bicara Sanherib, juru bicara raja Asyur, berusaha menakut-nakuti dan menggoyahkan iman rakyat Yehuda yang terkepung. Kata-kata yang diucapkan oleh juru bicara ini dirancang untuk meragukan nubuat dan janji-janji yang disampaikan oleh Hizkia, raja Yehuda, dan para nabi yang mendampinginya.
Ungkapan "Janganlah kamu mendengarkan Hizkia, sebab beginilah katanya: TUHAN pasti akan melepaskan kita" adalah inti dari strategi psikologis yang dilancarkan oleh Sanherib. Tujuannya adalah untuk memecah belah, menimbulkan kepanikan, dan membuat penduduk Yerusalem menyerah tanpa perlawanan lebih lanjut. Mereka mencoba menggambarkan Hizkia sebagai pemimpin yang naif atau bahkan pembohong, yang memberikan harapan palsu kepada rakyatnya. Dalam pandangan mereka, kekuatan militer Asyur yang tak tertandingi seharusnya membuat rakyat Yehuda memahami bahwa harapan pada pertolongan ilahi adalah sia-sia.
Namun, di balik kata-kata provokatif ini, terdapat tema yang jauh lebih dalam tentang iman, kepercayaan, dan kesetiaan kepada Tuhan. Pernyataan Hizkia bahwa "TUHAN pasti akan melepaskan kita" bukanlah sekadar ucapan optimisme belaka, melainkan ekspresi keyakinan teguh pada janji-janji Allah. Ini mencerminkan pemahaman Hizkia tentang karakter Allah dan sejarah hubungan-Nya dengan umat pilihan-Nya. Ia percaya bahwa Tuhan yang telah membawa nenek moyangnya keluar dari Mesir, yang telah memberikan tanah perjanjian, akan tetap setia pada janji-Nya untuk melindungi Yerusalem.
Kisah ini menjadi pengingat yang kuat bahwa dalam menghadapi kesulitan, godaan untuk beralih ke solusi yang terlihat lebih praktis dan kuat secara duniawi selalu ada. Ancaman, tekanan, dan keraguan seringkali datang dalam berbagai bentuk, mencoba membuat kita kehilangan pandangan pada sumber kekuatan sejati kita. Namun, Firman Tuhan dan pengalaman umat-Nya sepanjang sejarah mengajarkan bahwa iman yang teguh kepada-Nya seringkali menjadi perisai terkuat dalam badai kehidupan. Pilihan untuk mendengarkan suara Tuhan dan mempercayai janji-Nya, bahkan ketika situasi tampak mustahil, adalah inti dari kebenaran yang diajarkan oleh ayat ini. Kebenaran tentang kesetiaan Allah dan pentingnya respons iman manusia diuji dalam situasi yang paling genting sekalipun.