Dalam rentang sejarah yang penuh gejolak, seringkali ancaman dan intimidasi menjadi alat yang ampuh untuk menundukkan lawan. Dalam kitab 2 Raja-raja pasal 19, kita menemukan sebuah narasi dramatis mengenai Raja Hizkia dari Yehuda yang menghadapi kekuatan dahsyat dari Sanherib, raja Asyur. Sanherib, seorang penakluk yang ditakuti, telah berhasil menaklukkan banyak kota dan wilayah, dan kini ancamannya tertuju pada Yerusalem, jantung dari kerajaan Yehuda. Komunikasi yang dilancarkan oleh Sanherib kepada Hizkia bukanlah sekadar diplomasi, melainkan sebuah pesan perang yang penuh dengan propaganda dan upaya untuk menggoyahkan iman serta keberanian raja dan rakyatnya.
Ayat 2 Raja-raja 19:10 adalah bagian dari surat ancaman yang dikirimkan oleh pejabat Sanherib kepada Hizkia. Pesan ini disampaikan melalui para pembesar dan pasukan Asyur yang berteriak dalam bahasa Ibrani, agar pesannya dapat didengar langsung oleh rakyat di tembok Yerusalem. Hal ini menunjukkan strategi penyerangan psikologis yang canggih di masanya. Sanherib tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga berusaha menciptakan kepanikan massal dan keraguan. Inti dari ancaman ini adalah pernyataan bahwa raja Asyur tidak akan pernah bisa dikalahkan, dan bahwa semua dewa-dewa bangsa-bangsa lain yang telah ditaklukkannya terbukti tidak berdaya melawan Asyur. Oleh karena itu, mereka meyakinkan Hizkia bahwa dewa mereka sendiri, Yahweh, tidak akan mampu menyelamatkannya.
Kata-kata yang dipilih oleh Sanherib sangatlah tajam dan dirancang untuk menimbulkan rasa putus asa. Frasa seperti "Janganlah bibirmu membiarkan Sanherib... menipu kamu" menyiratkan bahwa Hizkia dan rakyatnya memiliki kecenderungan untuk mudah dibohongi atau terkesan oleh janji-janji kosong. Lebih jauh lagi, Sanherib dengan arogan menyatakan bahwa ia "akan pasti datang dan membinasakan negeri ini," sebuah ramalan yang tampaknya tak terelakkan. Pesan ini merupakan ujian berat bagi iman Hizkia. Di hadapan kekuatan militer yang luar biasa dan propaganda yang meresahkan, bagaimana seorang raja bisa tetap teguh dan menginspirasi rakyatnya?
Tindakan Hizkia selanjutnya menjadi kunci. Alih-alih menyerah pada keputusasaan, Hizkia merobek pakaiannya, mengenakan kain kabung, dan masuk ke dalam rumah TUHAN. Ia juga mengutus para pejabat untuk menemui Nabi Yesaya. Ini menunjukkan sebuah langkah strategis yang berbeda; ia tidak hanya mengandalkan strategi militer atau politik, tetapi mencari bimbingan ilahi. Jawaban dari Yesaya, yang diilhamkan oleh Allah sendiri, adalah penegasan kembali atas kedaulatan Tuhan dan janji-Nya untuk melindungi umat-Nya. Yesaya menyampaikan pesan ilahi yang mengkonfrontasi kesombongan Sanherib dan menjamin kehancurannya. Ini adalah kontras yang mencolok: ancaman yang lahir dari kesombongan manusia berhadapan dengan janji penyelamatan yang datang dari kekuatan ilahi.
Kisah ini mengajarkan kita tentang kekuatan kata-kata. Kata-kata dapat digunakan untuk mengintimidasi, menipu, dan merusak. Namun, kata-kata juga dapat membawa pengharapan, kebenaran, dan kekuatan. Di tengah ancaman yang terasa nyata, seperti yang dihadapi Hizkia, respons yang tepat adalah mencari kebenaran, memperkuat iman, dan tidak membiarkan diri tertipu oleh narasi yang merusak. 2 Raja-raja 19:10 mengingatkan kita bahwa bahkan di saat-saat tergelap, penipuan dan ancaman bisa saja terjadi, namun jalan keluar selalu ada melalui ketergantungan pada sumber kekuatan yang lebih tinggi.
Fokus pada janji ilahi, bukan pada ancaman duniawi.