Ayat pembuka dari 2 Tawarikh pasal 1 mengisahkan tentang masa awal pemerintahan Raja Salomo. Setelah ayahnya, Daud, mangkat, Salomo mengukuhkan posisinya sebagai raja atas seluruh Israel. Alkitab mencatat bahwa Salomo sangat mencintai TUHAN dan berjalan mengikuti ketetapan-ketetapan ayahnya. Ini adalah fondasi penting yang menuntun langkah-langkah Salomo di awal pemerintahannya. Ia tidak hanya seorang pewaris takhta, tetapi juga seorang yang memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan Tuhan.
Malam itu, setelah ia menduduki takhta, Tuhan menampakkan diri kepada Salomo dalam sebuah mimpi. Ini adalah momen ilahi yang langka, di mana Tuhan secara langsung berkomunikasi dengan hamba-Nya. Dalam penampakan ini, Tuhan menawarkan kepada Salomo apa saja yang diinginkannya. Tawaran ini bukanlah ujian kekayaan atau kekuasaan, melainkan sebuah kesempatan untuk melihat hati Salomo dan apa yang paling ia dambakan.
Salomo, dengan kebijaksanaan yang telah Tuhan karuniakan, tidak meminta kekayaan, kemuliaan, atau panjang umur untuk dirinya sendiri, apalagi mengalahkan musuh-musuhnya. Sebaliknya, ia meminta hati yang penuh pengertian untuk memerintah umat Tuhan dengan adil dan bijaksana. Ia menyadari betapa besarnya tanggung jawab yang diemban oleh seorang raja, dan ia tahu bahwa tanpa hikmat dari Tuhan, ia tidak akan mampu menavigasi kerumitan pemerintahan dan memimpin umat Israel dengan benar. Doa Salomo ini merupakan teladan yang luar biasa tentang kerendahan hati dan prioritas spiritual.
Setelah Tuhan menampakkan diri dan berjanji akan memberikan hikmat yang tiada bandingnya, Salomo kembali kepada umatnya. Keesokan harinya, ia melakukan sebuah tindakan ibadah yang sangat penting. Sesuai dengan firman Tuhan yang tertulis dalam 2 Tawarikh 1:5, Salomo dan seluruh rakyatnya pergi ke Gibeon, tempat terdapat mezbah tembaga besar yang dibuat oleh Musa di hadapan Kemah Pertemuan.
Di tempat suci ini, Salomo mempersembahkan seribu korban bakaran kepada TUHAN. Tindakan ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan sebuah ungkapan syukur dan penyerahan diri kepada Tuhan. Persembahan yang begitu besar ini menunjukkan keseriusan dan ketulusan hati Salomo dalam mengawali pemerintahannya. Ia ingin memastikan bahwa segala sesuatu yang ia lakukan dimulai dengan cara yang berkenan di hadapan Tuhan.
Persembahan di mezbah tembaga Gibeon ini memiliki makna simbolis yang mendalam. Mezbah ini menjadi titik fokus ibadah Israel, tempat di mana mereka berinteraksi dengan Tuhan. Dengan mempersembahkan korban di sana, Salomo menegaskan bahwa kekuasaannya berakar pada otoritas ilahi, dan bahwa kepemimpinannya didedikasikan untuk Tuhan. Tindakan ini juga menunjukkan ketaatan Salomo terhadap hukum Tuhan, karena korban bakaran adalah salah satu bentuk ibadah yang diatur dalam Taurat.
Dalam konteks ayat 5 ini, persembahan seribu korban bakaran berdiri sebagai pembukaan bagi episode hikmat Salomo yang terkenal. Setelah tindakan iman dan ketaatan ini, Tuhan kembali berbicara kepada Salomo pada malam yang sama, mengukuhkan kembali janji-Nya untuk memberikan kepadanya hikmat, pengetahuan, dan pemahaman yang belum pernah dimiliki siapapun sebelumnya. Kisah ini mengajarkan bahwa permohonan hikmat yang tulus dan tindakan ketaatan yang nyata adalah jalan yang berkenan di hadapan Tuhan, yang membawa berkat dan bimbingan ilahi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk kepemimpinan.