"Berkatalah ia kepada mereka: "Beginilah akan kukatakan: Bapakku telah membebani kamu dengan kuk yang berat, tetapi aku akan menambahnya lagi; bapakku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan kalajengking!"
Ayat 2 Tawarikh 10:14 menyajikan sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Israel, yang menandai perpecahan bangsa ini menjadi dua kerajaan terpisah: Kerajaan Utara (Israel) dan Kerajaan Selatan (Yehuda). Ayat ini adalah respons dari Rehabeam, putra Salomo, ketika para tua-tua dan wakil-wakil Israel datang kepadanya untuk meminta keringanan dari beban berat yang dibebankan oleh ayahnya. Permintaan mereka terdengar sederhana, "Ringankanlah pekerjaan kami yang berat dan kuk yang membebani kami, maka kami akan bekerja padamu." Namun, jawaban Rehabeam, yang tercatat dalam ayat ini, adalah sebuah penolakan yang tegas dan bahkan ancaman yang mengerikan.
Rehabeam, yang baru saja naik takhta, membuang nasihat dari para tua-tua yang lebih berpengalaman dan mendengarkan saran dari teman-teman sebayanya yang justru mendorongnya untuk bersikap lebih keras. "Beginilah akan kukatakan: Bapakku telah membebani kamu dengan kuk yang berat, tetapi aku akan menambahnya lagi; bapakku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan kalajengking!" Kata-kata ini bukan hanya ungkapan kekecewaan, tetapi sebuah pernyataan kekuasaan yang arogan dan kurang bijaksana. Ia tidak menyadari bahwa tindakannya akan memicu reaksi yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Konsekuensi dari ucapan Rehabeam sungguh dahsyat. Perkataannya yang keras dan menolak membawa keadilan justru membangkitkan murka rakyat. Sepuluh suku Israel memisahkan diri dari wangsa Daud, menyatakan bahwa mereka tidak memiliki bagian dalam Rehabeam. Peristiwa ini mengakhiri persatuan Kerajaan Israel yang telah dibangun oleh Daud dan Salomo. Sejak saat itu, bangsa Israel terbagi menjadi dua entitas politik yang seringkali saling bersaing dan bermusuhan, melemahkan posisi mereka di mata bangsa-bangsa lain.
Pelajaran utama dari 2 Tawarikh 10:14 sangatlah jelas. Kepemimpinan yang baik menuntut kebijaksanaan, empati, dan kemampuan untuk mendengarkan suara rakyat. Sebaliknya, kesombongan, keangkuhan, dan penolakan terhadap nasihat yang baik dapat membawa kehancuran. Rehabeam memilih jalan yang justru menjauhkan rakyatnya, bukan mempersatukannya. Kisah ini menjadi pengingat abadi bahwa keputusan seorang pemimpin, terutama yang didasarkan pada ego dan bukan pada kepedulian, dapat memiliki dampak yang mendalam dan seringkali tragis bagi seluruh bangsa. Penggunaan metafora "kuk yang berat" dan "kalajengking" menunjukkan betapa besar penderitaan yang dirasakan rakyat dan betapa menakutkannya penolakan terhadap permintaan mereka. Keputusan yang diambil Rehabeam, bukan hanya merusak hubungan dengan rakyatnya, tetapi juga menciptakan luka sejarah yang dalam bagi bangsa Israel.