"Ketika Rehabeam tiba di Yerusalem, ia mengumpulkan seratus delapan puluh ribu orang dari seluruh Yehuda dan Benyamin, para prajurit pilihan, untuk berperang melawan Israel dan memulihkan kerajaan itu bagi Rehabeam." (2 Tawarikh 12:1)
Kitab 2 Tawarikh menyajikan narasi sejarah yang mendalam mengenai kerajaan Israel dan Yehuda, dengan fokus pada raja-raja yang memerintah dan dampaknya terhadap spiritualitas bangsa. Pasal 11 dan 12 dari kitab ini, secara spesifik, membawa kita pada momen krusial pasca kematian Salomo. Kita menyaksikan bagaimana kerajaan yang bersatu di bawah ayahnya terpecah belah, sebuah peristiwa yang memiliki akar pada keputusan dan sikap para pemimpinnya. Pasal 11 menggambarkan upaya Rehabeam untuk mengukuhkan kekuasaannya di Yehuda setelah perpecahan, sementara pasal 12 mencatat intervensi Allah dan konsekuensi dari kesetiaan serta ketidaksetiaan raja-raja.
Di awal pasal 11, kita melihat Rehabeam, penerus takhta, menghadapi pemberontakan sepuluh suku Israel Utara. Alih-alih mencari kebijaksanaan ilahi atau rekonsiliasi, ia memilih untuk mengumpulkan pasukan besar dari suku Yehuda dan Benyamin untuk menyerang saudara-saudaranya. Ayub 12:1 secara gamblang menyatakan niat ini: "Ketika Rehabeam tiba di Yerusalem, ia mengumpulkan seratus delapan puluh ribu orang dari seluruh Yehuda dan Benyamin, para prajurit pilihan, untuk berperang melawan Israel dan memulihkan kerajaan itu bagi Rehabeam." Kata-kata ini mencerminkan keinginan untuk memaksakan kehendak dan mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan militer, bukan melalui pemulihan hubungan yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Namun, rencana Rehabeam digagalkan oleh campur tangan seorang nabi Tuhan, Semaia. Semaia menyampaikan pesan dari Tuhan yang melarang perang melawan kerabat mereka, menegaskan bahwa perpecahan ini adalah kehendak Tuhan. Perintah ini sangatlah penting karena mengingatkan kita bahwa bahkan dalam situasi yang tampaknya kacau, ada rencana ilahi yang bekerja. Rehabeam, meskipun pada awalnya berniat berperang, akhirnya mendengarkan firman Tuhan dan membatalkan rencana perangnya. Hal ini menjadi sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya ketaatan kepada kehendak Tuhan, bahkan ketika berhadapan dengan kesulitan politik dan emosional. Keputusan untuk tidak berperang melawan Israel Utara, meskipun sulit, mencegah pertumpahan darah lebih lanjut antar saudara sebangsa.
Selanjutnya, pasal 12 beralih ke masa pemerintahan Rehabeam yang lebih matang dan dampaknya terhadap kesetiaan bangsa kepada Tuhan. Dinyatakan bahwa Rehabeam dan rakyatnya meninggalkan Taurat Tuhan karena mereka "tidak tekun mengikuti Tuhan" (2 Tawarikh 12:14). Akibatnya, Tuhan menghukum mereka dengan membiarkan Sisak, raja Mesir, menyerbu Yehuda dan Yerusalem. Penyerbuan ini bukan hanya membawa kehancuran fisik tetapi juga merampas harta benda Bait Suci, termasuk emas yang dibuat oleh Salomo. Ini adalah konsekuensi langsung dari pengabaian mereka terhadap perjanjian dengan Tuhan.
Namun, ada momen penebusan. Ketika raja Mesir telah tiba, Rehabeam dan para pemimpin Yehuda merendahkan diri dan mengakui bahwa "Tuhan Maha Adil" (2 Tawarikh 12:6). Pengakuan dosa ini membuat Tuhan mengalihkan murka-Nya dan tidak membinasakan mereka sepenuhnya, meskipun mereka tetap harus menghadapi kekalahan dan kehilangan. Ini menunjukkan bahwa pertobatan yang tulus dapat menghasilkan belas kasihan dari Tuhan, bahkan setelah dosa mendatangkan konsekuensi yang pahit. Pasal-pasal ini menggarisbawahi tema sentral dalam 2 Tawarikh 11 12: bahwa pilihan kita, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, memiliki dampak yang signifikan. Ketaatan kepada Tuhan membawa berkat dan perlindungan, sementara ketidaktaatan dan penyembahan berhala mendatangkan hukuman. Narasi ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita akan pentingnya kesetiaan kepada Tuhan dan hikmat dalam mengambil keputusan, terutama ketika berhadapan dengan perpecahan dan tantangan.