Ayat 2 Tawarikh 11:8 menceritakan tentang tindakan Raja Yerobeam yang signifikan dalam sejarah Kerajaan Israel setelah perpecahan dari Kerajaan Yehuda. Ayat ini secara singkat menyatakan bahwa Yerobeam mendirikan mezbah-mezbah di Betel dan Dan. Namun, di balik kesederhanaan kalimat ini, tersimpan makna yang mendalam mengenai perpecahan politik, agama, dan konsekuensi jangka panjang bagi bangsa Israel.
Setelah kematian Raja Salomo, sepuluh suku utara memberontak dan membentuk Kerajaan Israel yang terpisah, dengan Yerobeam sebagai raja mereka. Yerusalem, yang menjadi pusat ibadah dan spiritual bagi seluruh bangsa Israel selama pemerintahan Daud dan Salomo, kini berada di bawah kekuasaan Raja Rehabeam dari Yehuda, yang menguasai suku Yehuda dan Benyamin di selatan. Posisi geografis Yerusalem ini menjadi masalah besar bagi Yerobeam.
Kekhawatiran utama Yerobeam adalah bahwa jika rakyatnya terus pergi ke Yerusalem untuk beribadah, mereka mungkin akan beralih kesetiaan kembali kepada Raja Rehabeam dan Kerajaan Yehuda. Untuk mencegah hal ini, Yerobeam mengambil langkah drastis yang memiliki implikasi teologis yang serius. Dia memutuskan untuk menciptakan pusat ibadah tandingan di wilayah Kerajaan Israel utara.
Betel dan Dan adalah dua lokasi penting yang dipilih Yerobeam. Betel terletak di bagian selatan Kerajaan Utara, dekat perbatasan dengan Yehuda, sementara Dan berada di bagian utara. Dengan mendirikan mezbah-mezbah di sana, Yerobeam secara efektif mencoba untuk mengalihkan aliran ibadah dari Yerusalem. Namun, tindakannya tidak berhenti di situ. Ia juga memperkenalkan praktik ibadah baru, termasuk mendirikan patung lembu emas di kedua lokasi tersebut, sebuah tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Taurat Tuhan yang melarang pembuatan berhala.
Keputusan Yerobeam untuk mendirikan mezbah dan berhala di Betel dan Dan bukanlah sekadar manuver politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Ini adalah awal dari penyembahan berhala yang meluas di Kerajaan Israel Utara. Tindakan ini membawa bangsa itu menjauh dari Tuhan dan perjanjian-Nya. Sejarah Kerajaan Israel Utara selanjutnya dipenuhi dengan pemberontakan melawan Tuhan, kemurtadan, dan akhirnya kehancuran serta pembuangan oleh bangsa Asiria.
Ayat 2 Tawarikh 11:8 menjadi pengingat penting tentang bagaimana keputusan yang dibuat oleh pemimpin politik dapat memiliki dampak yang menghancurkan pada aspek spiritual suatu bangsa. Keserakahan akan kekuasaan dan ketakutan akan kehilangan kendali dapat mendorong seseorang untuk mengabaikan perintah Tuhan, dengan konsekuensi yang jauh lebih besar daripada yang dibayangkan. Peristiwa ini juga menyoroti pentingnya kesatuan dalam ibadah dan keteguhan dalam iman, yang seharusnya menjadi pondasi bagi seluruh umat Tuhan.