Ayat yang kita renungkan hari ini, 2 Tawarikh 12:2, membuka sebuah lembaran baru dalam sejarah Kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Raja Rehabeam. Ayat ini memberikan gambaran singkat namun penting mengenai awal pemerintahan seorang raja yang kelak akan menghadapi ujian besar dalam imannya. Dengan usianya yang baru 41 tahun saat naik takhta, Rehabeam mewarisi sebuah kerajaan yang terpecah, dengan tanggung jawab yang berat untuk memimpin separuh dari umat Allah.
Penting untuk dicatat bahwa Rehabeam adalah anak dari Raja Salomo, seorang raja yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kemakmurannya. Namun, warisan yang diterima Rehabeam bukanlah sekadar kemegahan, melainkan juga tantangan besar. Kerajaan Israel telah terpecah menjadi dua: Kerajaan Israel Utara (sepuluh suku) dan Kerajaan Yehuda (dua suku: Yehuda dan Benyamin). Keputusan-keputusan di masa lalu, khususnya yang berkaitan dengan ketidakadilan dan beban berat yang ditimpakan oleh Salomo di akhir masa pemerintahannya, telah menyebabkan perpecahan yang mendalam ini.
Ilustrasi simbolis tentang Kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Rehabeam.
Nama ibu Rehabeam, Naama, yang berasal dari Amon, juga menarik perhatian. Latar belakang ini bisa saja menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepemimpinannya, atau setidaknya memberikan konteks budaya yang lebih luas terhadap dinamika kekuasaan pada masa itu. Namun, yang terpenting dari ayat ini adalah penekanan pada dimulainya sebuah era pemerintahan di Yerusalem, kota yang dipilih Tuhan untuk mendiami nama-Nya.
Rehabeam memerintah selama tujuh belas tahun. Periode ini penuh dengan gejolak. Alkitab mencatat bagaimana kebijakannya yang keras dan angkuh di awal pemerintahannya, yang berkontribusi pada perpecahan bangsa, akhirnya membawa malapetaka. Di tahun kelima pemerintahannya, Shishak, raja Mesir, menyerbu Yerusalem dan menjarah Bait Suci. Ini adalah pukulan telak bagi Yehuda, yang seharusnya menjadi umat yang hidup dalam perlindungan dan berkat Tuhan.
Namun, di tengah kehancuran itu, ada secercah harapan. Ketika Shishak tiba, nabi-nabi Tuhan mengingatkan Rehabeam dan para pemimpinnya bahwa kehancuran itu datang karena mereka telah meninggalkan Tuhan. Dalam ketakutan dan penyesalan, Rehabeam bersama para pemimpin Yehuda merendahkan diri dan mengakui, "TUHAN Maha Benar." Akibatnya, Tuhan berfirman bahwa Ia tidak akan menghancurkan mereka sepenuhnya, tetapi akan memberikan keselamatan melalui tangan Shishak, agar mereka belajar membedakan antara melayani Tuhan dan melayani raja-raja dunia.
2 Tawarikh 12:2, meskipun hanya pengantar, mengajarkan kita pentingnya pondasi yang kuat dalam kepemimpinan. Keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin seringkali ditentukan oleh keputusannya di awal masa jabatannya, serta hubungannya dengan Tuhan. Kisah Rehabeam menjadi pengingat bahwa kemakmuran dan keamanan sebuah bangsa sangat bergantung pada kesetiaan mereka kepada Tuhan. Sejarah ini mengajarkan bahwa bahkan ketika malapetaka datang, kerendahan hati dan pengakuan akan kebenaran Tuhan dapat membuka jalan bagi pemulihan dan pengampunan.