Maka ia berkata: "Aku lihat seluruh Israel berserakan di gunung-gunung seperti domba yang tidak mempunyai gembala."
Gambaran visual keruntuhan dan keputusasaan
Ayat 2 Tawarikh 18:17, yang diucapkan oleh Nabi Mikha bin Yimla, menggambarkan sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan dan penuh keputusasaan. Ini bukanlah sekadar gambaran visual, melainkan sebuah metafora kuat tentang kondisi rohani dan politik bangsa Israel yang terpecah belah. Dalam konteks pertempuran melawan Aram, raja Ahab dari Israel bersama raja Yosafat dari Yehuda menghadapi persekutuan musuh yang kuat. Di tengah persiapannya untuk perang, Ahab memilih untuk mendengarkan nabi-nabi palsu yang menjanjikan kemenangan, sementara ia mengabaikan firman Tuhan yang disampaikan oleh Mikha.
Penglihatan Mikha tentang "seluruh Israel berserakan di gunung-gunung seperti domba yang tidak mempunyai gembala" adalah sebuah peringatan keras. Domba tanpa gembala adalah gambaran kerentanan, ketidakamanan, dan hilangnya arah. Mereka menjadi mangsa empuk bagi pemangsa, tidak memiliki perlindungan, dan tidak tahu ke mana harus pergi. Dalam bahasa rohani, ini mencerminkan umat Tuhan yang ditinggalkan tanpa bimbingan ilahi, tanpa pemimpin yang setia kepada kehendak Tuhan. Mereka menjadi rentan terhadap kesesatan, penindasan, dan kehancuran.
Keangkuhan Raja Ahab menjadi salah satu faktor utama yang membawanya pada kehancuran. Alih-alih mencari hikmat dan kebenaran dari Tuhan, Ahab lebih memilih untuk mempercayai penyanjungnya dan nabi-nabi palsu yang hanya berbicara apa yang ingin didengar oleh telinganya. Perkataan Mikha, meskipun keras dan jujur, ditolak mentah-mentah. Ahab bahkan memerintahkan agar Mikha dipenjara dan diberi makan roti dan air penderitaan. Sikap inilah yang menunjukkan betapa jauhnya Ahab dari kebenaran dan betapa besarnya keangkuhannya. Ia merasa dirinya berkuasa dan mampu menentukan nasibnya sendiri, bahkan melawan firman Tuhan.
Penglihatan Mikha secara tragis terwujud. Dalam pertempuran, Ahab, meskipun menyamar, tetap dikenali dan menjadi sasaran utama musuh. Sebuah anak panah yang dilepaskan secara sembarangan oleh seorang prajurit Aram akhirnya menembus celah baju zirah Ahab dan menyebabkan kematiannya. Kematiannya menjadi bukti nyata bahwa kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran ilahi pasti berujung pada kehancuran. Israel, yang seharusnya bersatu di bawah pimpinan yang takut akan Tuhan, justru terpecah belah dan menjadi lemah karena kebodohan para pemimpinnya.
Ayat 2 Tawarikh 18:17 memberikan pelajaran yang relevan bagi kita hingga hari ini. Pertama, pentingnya memiliki pemimpin yang takut akan Tuhan dan berani berbicara kebenaran, meskipun itu tidak populer. Kita perlu waspada terhadap "nabi-nabi palsu" di zaman modern, baik dalam bentuk figur publik, media, maupun ajaran yang menyesatkan, yang hanya mencari keuntungan pribadi atau memanipulasi massa.
Kedua, ayat ini mengingatkan kita tentang bahaya keangkuhan. Kesombongan dapat membutakan kita dari kebenaran, membuat kita menolak nasihat yang baik, dan akhirnya membawa kita pada jalan kehancuran. Kerendahan hati, kesediaan untuk belajar, dan ketergantungan pada Tuhan adalah kunci untuk hidup yang benar dan diberkati.
Terakhir, gambaran domba tanpa gembala adalah panggilan untuk kepedulian. Sebagai individu yang telah menerima terang kebenaran, kita dipanggil untuk menjadi gembala yang baik, baik dalam keluarga, komunitas, maupun gereja. Kita harus membimbing orang lain dengan kasih dan kebenaran, agar mereka tidak tersesat seperti domba tanpa gembala. Menolak kebenaran dan memilih jalan sendiri tanpa tuntunan ilahi adalah sebuah resep untuk kekacauan dan keputusasaan, sama seperti yang dialami Israel di bawah kepemimpinan Ahab.