2 Tawarikh 21 6: Pemberontakan dan Keadilan Allah

"Kemudian ia berjalan dalam kelakuan raja-raja Israel, dan ia berbuat seperti keluarga Ahab, sebab ialah memperisterikan anak perempuan Ahab, dan ia berbuat yang jahat di mata TUHAN." (2 Tawarikh 21:6)
Yoram
Ilustrasi visualisasi pengaruh dan keputusan Yoram.

Ayat 2 Tawarikh 21:6 membawa kita pada sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda, yang berpusat pada figur Raja Yoram. Ayat ini secara lugas menggambarkan pergeseran moral dan spiritual yang dialami oleh raja tersebut, sebuah pergeseran yang memiliki konsekuensi mendalam bagi dirinya dan seluruh kerajaannya. "Kemudian ia berjalan dalam kelakuan raja-raja Israel, dan ia berbuat seperti keluarga Ahab, sebab ialah memperisterikan anak perempuan Ahab, dan ia berbuat yang jahat di mata TUHAN."

Keputusan Yoram untuk "berjalan dalam kelakuan raja-raja Israel" bukanlah sekadar perubahan gaya kepemimpinan, melainkan sebuah adopsi sistem kepercayaan dan moralitas yang telah lama ditolak oleh leluhurnya. Raja-raja Israel, terutama pada masa itu, banyak yang terjerumus dalam penyembahan berhala dan praktik-praktik yang menjijikkan di hadapan Allah. Hal ini menjadi semakin buruk ketika Yoram, melalui pernikahannya dengan Atalya, putri dari Raja Ahab dari Kerajaan Israel Utara, secara langsung merangkul ajaran dan pengaruh keluarga Ahab yang dikenal sangat menentang Allah. Ahab dan istrinya, Izebel, adalah simbol pemberontakan terhadap Tuhan, yang memimpin banyak orang Israel kepada penyembahan Baal.

Pernikahan ini bukan sekadar aliansi politik atau personal, melainkan sebuah pintu gerbang bagi pengaruh asing yang merusak. Atalya membawa serta tradisi dan kultus yang bertentangan dengan hukum Taurat. Pengaruh ini dengan cepat meresap ke dalam istana dan kehidupan Yoram, mendorongnya untuk "berbuat yang jahat di mata TUHAN." Ini adalah pengkhianatan terhadap warisan raja-raja yang saleh sebelumnya, seperti ayahnya, Yosafat, yang pernah berjalan dalam kesetiaan kepada Allah. Keputusan untuk meniru keluarga Ahab menunjukkan kelemahan karakter Yoram dan ketidakmampuannya untuk berdiri teguh dalam kebenaran, bahkan ketika ia berada di puncak kekuasaan.

Ayat ini juga menegaskan bahwa tindakan Yoram tidak luput dari perhatian Allah. Sebutan "berbuat yang jahat di mata TUHAN" bukan sekadar penilaian manusia, melainkan deklarasi ilahi tentang pelanggaran perjanjian dan penolakan terhadap otoritas Allah. Konsekuensi dari pilihan Yoram ini terlihat jelas dalam pasal-pasal selanjutnya, di mana Allah mendatangkan berbagai malapetaka dan hukuman atas Yehuda sebagai respons terhadap ketidaktaatan raja. Hal ini menjadi pengingat abadi bahwa meskipun manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalannya, setiap pilihan memiliki konsekuensi, terutama ketika pilihan tersebut melibatkan penolakan terhadap Tuhan. Kisah Yoram mengajarkan tentang pentingnya menjaga kemurnian iman dan menolak pengaruh yang dapat menggoyahkan kesetiaan kita kepada Sang Pencipta.