2 Tawarikh 25:14 - Pemberontakan Umat Israel

"Setelah Amazia kembali dari mengalahkan orang Edom, ia mendatangkan ilah-ilah orang Seir itu, mendirikannya menjadi dewanya, sujud menyembah kepadanya dan membakar korban baginya."

Simbol Ilah Palsu

Ayat 2 Tawarikh 25:14 mencatat sebuah momen tragis dalam sejarah Kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Raja Amazia. Setelah meraih kemenangan besar atas bangsa Edom dalam pertempuran di Lembah Garam, sebuah kemenangan yang seharusnya menjadi pengingat akan pertolongan Tuhan, Amazia justru melakukan tindakan yang sangat menjauhkan diri dari jalan kebenaran. Alih-alih mengucap syukur dan memuliakan Allah Israel, ia membawa patung-patung ilah bangsa Edom yang telah dikalahkannya ke Yerusalem.

Tindakan ini bukan sekadar kesalahan kecil atau kelalaian sesaat. Ini adalah sebuah pemberontakan yang disengaja terhadap perintah Allah yang jelas, yang melarang penyembahan berhala dan mengarahkan umat-Nya untuk hanya menyembah kepada satu Tuhan yang benar. Amazia, seolah-olah terpengaruh oleh kegagalan spiritualnya sendiri atau mungkin oleh kepercayaan dan budaya bangsa yang ia taklukkan, mendirikan ilah-ilah tersebut menjadi dewanya, sujud menyembah, dan bahkan membakar korban kepada mereka. Ini menunjukkan sebuah pergeseran nilai dan kesetiaan yang fundamental. Kemenangan yang seharusnya memperkuat imannya, justru menjadi batu loncatan menuju kemurtadan.

Kisah ini memberikan pelajaran yang mendalam tentang bahaya kesuksesan yang disalahgunakan. Ketika seseorang atau sebuah bangsa mencapai puncak kejayaan, godaan untuk melupakan sumber kekuatan sejati dan jatuh ke dalam kesombongan atau menyandarkan diri pada kekuatan semu bisa sangat besar. Dalam kasus Amazia, ia tampaknya menganggap kemenangannya sebagai bukti kekuatan militernya sendiri, bukan sebagai karunia dari Allah. Akibatnya, ia mulai mencari sumber kekuatan lain, bahkan yang najis dan dilarang.

Penyembahan ilah-ilah asing ini membawa konsekuensi serius. Meskipun awalnya ia mendapatkan kemenangan militer, secara spiritual ia telah membuka pintu bagi kehancuran. Sejarah mencatat bahwa pemberontakan ini, bersama dengan tindakan-tindakan tidak bijak lainnya, pada akhirnya membawa malapetaka bagi dirinya dan kerajaannya. Kisah Amazia adalah peringatan abadi bahwa kesetiaan kepada Allah harus tetap teguh, terutama di masa-masa kejayaan. Kemenangan yang diraih harus selalu dikembalikan kepada sumber segala kemenangan, yaitu Tuhan. Ketergantungan pada ilah-ilah palsu, betapapun memikatnya pada awalnya, hanya akan membawa pada kehancuran dan keterasingan dari kasih karunia ilahi.