Kitab 2 Tawarikh pasal 25 membawa kita pada kisah Raja Amatsia, seorang pemimpin Yehuda yang menunjukkan keberanian luar biasa dan tekad untuk memperbaiki bangsanya. Setelah masa pemerintahan yang stabil, Amatsia mengambil langkah penting yang mencerminkan keinginannya untuk memulihkan ketaatan kepada Tuhan. Salah satu tindakan pertamanya adalah menyingkirkan para pembunuh ayahnya, raja Yoas, sebuah langkah politik yang menegaskan kekuasaannya dan menciptakan stabilitas awal bagi kerajaannya. Namun, keberanian Amatsia tidak berhenti di situ. Ia memiliki keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan sejatinya.
Gambar representasi visual tema ketaatan dan kekuatan dari Tuhan.
Dalam upaya memperkuat dan memperluas pengaruh kerajaannya, Amatsia mengumpulkan pasukan dari Yehuda dan Benyamin, serta mempekerjakan seratus ribu prajurit dari Israel dengan upah yang besar. Tujuannya adalah untuk melawan bangsa Edom di Lembah Garam. Keberanian ini membuahkan hasil, pasukannya berhasil mengalahkan orang Edom dan menghancurkan sepuluh ribu orang dari mereka. Kemenangan ini patut dirayakan, namun di sinilah titik balik krusial dalam kisah Amatsia terjadi. Ia tidak mengembalikan segala pujian kepada Tuhan, melainkan membawa patung-patung dewa orang Edom dan menyembahnya, bahkan menjadikannya berhala di rumahnya sendiri.
Tindakan penyembahan berhala ini tentu saja tidak luput dari perhatian Tuhan. Seorang nabi diutus untuk mengingatkan Amatsia, "Mengapakah engkau beribadat kepada dewa-dewa yang tidak dapat menyelamatkan bangsanya sendiri dari tangan musuhmu?" Namun, alih-alih mendengarkan dan bertobat, Amatsia menunjukkan sikap sombong dan menolak nasihat ilahi. Ia malah mengancam nabi tersebut, "Sudahkah aku mengangkat engkau menjadi penasihat raja? Berhentilah! Mengapa engkau hendak dipukul?" Sikap ini menandakan sebuah kesombongan yang mendalam dan penolakan terhadap kebenaran ilahi.
Akibat dari ketaatan yang hanya sesaat dan kemudian diikuti oleh penyembahan berhala, Amatsia pun menghadapi konsekuensi yang pahit. Perang saudara terjadi ketika Amatsia menantang raja Yoas dari Israel. Meskipun Amatsia sempat bersikeras untuk berperang, ia diperingatkan oleh raja Yoas dengan sebuah perumpamaan yang gamblang tentang bahaya besar yang akan menimpanya jika memprovokasi perselisihan yang tidak perlu. Akhirnya, Amatsia terpaksa mundur dan menghentikan pertempuran tersebut. Namun, kehancuran yang lebih besar menantinya. Para pengikut Amatsia justru berkhianat kepadanya, dan ia harus melarikan diri ke Lakhis, tempat ia kemudian dibunuh.
Kisah Amatsia dalam 2 Tawarikh 25 memberikan pelajaran yang berharga tentang pentingnya ketaatan yang konsisten dan utuh kepada Tuhan. Keberanian tanpa ketaatan yang teguh dapat berujung pada kehancuran. Mengambil pujian atau kekuatan dari sumber yang salah, sekecil apapun itu, dapat membawa kita menjauh dari jalan Tuhan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati, kemenangan, dan kemakmuran hanya datang dari kesetiaan kepada Sang Pencipta, bukan dari berhala atau kemampuan diri sendiri semata.