Ayat pembuka dari pasal 29 Kitab 2 Tawarikh ini menandai dimulainya periode krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Hizkia, seorang raja muda yang mewarisi takhta di tengah kondisi bangsa yang terpuruk secara rohani, memegang peranan sentral dalam pemulihan iman dan ketaatan kepada Allah. Usianya yang masih muda, dua puluh lima tahun, saat naik takhta, menunjukkan bahwa kepemimpinannya lahir dari suatu masa transisi, dan ia harus segera mengambil tindakan tegas untuk mengarahkan kembali bangsanya.
Periode pemerintahan Hizkia dicirikan oleh gejolak politik dan ancaman dari bangsa Asyur yang semakin merajalela. Namun, justru dalam ketegangan inilah, Hizkia menunjukkan hikmat dan keberanian yang luar biasa. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya yang sering kali mengikuti jalan kesesatan, Hizkia memilih untuk menaruh harapannya sepenuhnya kepada Allah Israel. Ayat ini secara ringkas memperkenalkan dirinya dan masa pemerintahannya yang panjang, sembilan belas tahun, di Yerusalem, sebuah periode yang akan diisi dengan pembaruan ibadah dan pemulihan hubungan dengan Tuhan.
Nama ibunya, Abia, anak Zakharia, mungkin terdengar seperti detail kecil, namun dalam tradisi Israel, latar belakang keluarga raja sering kali memiliki makna spiritual. Zakharia sendiri adalah nama yang muncul dalam Kitab Nabi Yesaya, yang juga merupakan nabi pada masa pemerintahan Hizkia. Hal ini bisa jadi mengisyaratkan bahwa Hizkia tumbuh dalam lingkungan yang peduli terhadap firman Tuhan dan ajaran-Nya.
Pemulihan yang dilakukan Hizkia dimulai dengan langkah-langkah berani untuk membersihkan dan memulihkan Bait Allah, yang telah diabaikan dan dinodai selama masa pemerintahan ayah dan kakeknya. Ia mengumpulkan para imam dan orang Lewi, memberikan instruksi yang jelas untuk menyingkirkan segala sesuatu yang najis dan mengembalikan ibadah kepada Tuhan sesuai dengan ketetapan-Nya. Tindakan ini bukanlah sekadar ritual, tetapi merupakan manifestasi dari komitmen hati yang tulus untuk kembali kepada Allah.
Kisah 2 Tawarikh 29 mencatat dengan detail bagaimana Hizkia memimpin bangsa ini dalam serangkaian pembaruan ibadah, termasuk perayaan Paskah yang agung setelah sekian lama tidak dirayakan. Keberanian dan keteguhan iman Hizkia menjadi teladan bagi para pemimpin dan umat, menunjukkan bahwa bahkan di tengah tantangan terbesar sekalipun, penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah dapat membawa pemulihan yang mendalam, baik secara individu maupun kolektif. Ayat 1 ini menjadi pengantar yang kuat untuk memahami pentingnya kepemimpinan yang berpusat pada Tuhan dan dampaknya yang transformatif bagi bangsa.