Simbol keteguhan dan perlindungan ilahi

2 Tawarikh 32:9 - Perisai dan Kekuatan Sejati

"Rabshake berseralah kepada mereka, katanya: 'Beginilah firman raja besar, raja Asyur: Ketergantungan manakah yang kau percayai, sehingga engkau bertahan di Yerusalem?

Ayat 2 Tawarikh 32:9 ini memuat pertanyaan retoris yang dilontarkan oleh Rabshake, utusan Raja Sanherib dari Asyur, kepada penduduk Yerusalem. Pertanyaan ini diucapkan di tengah ancaman invasi besar-besaran oleh pasukan Asyur yang telah menaklukkan banyak kota dan bangsa di sekitarnya. Sanherib, dengan kesombongan khas raja penakluk, ingin mengecilkan hati dan meruntuhkan semangat perlawanan umat Allah. Ia menantang mereka untuk menyebutkan alasan apa yang membuat mereka berani bertahan ketika semua kekuatan duniawi tampaknya telah tunduk di hadapan kebesaran Asyur.

Pertanyaan Rabshake bukan sekadar pertanyaan biasa, melainkan sebuah provokasi yang dirancang untuk memancing keraguan dan keputusasaan. Ia menyiratkan bahwa kekuatan manusia, sekecil apa pun, tidak akan mampu menandingi keperkasaan Asyur. Ia mencoba membuat umat Allah merasa sendirian, tanpa harapan, dan tanpa kekuatan untuk membela diri. Ini adalah taktik yang umum digunakan oleh para penindas: merongrong kepercayaan diri musuh dan membuat mereka mempertanyakan dasar dari keberanian mereka.

Menemukan Kekuatan di Tengah Keterbatasan

Dalam konteks ini, kita dapat belajar banyak tentang sumber kekuatan sejati. Meskipun Sanherib mengandalkan kekuatan militernya yang superior, umat Allah di Yerusalem memiliki sesuatu yang lebih berharga: iman kepada Tuhan. Raja Hizkia, sang pemimpin rohani dan politik saat itu, bukanlah seorang pejuang yang gagah perkasa dalam pengertian duniawi. Namun, ia adalah seorang yang takut akan Tuhan dan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada-Nya.

Ketika menghadapi ancaman yang tampaknya tak teratasi, Hizkia tidak bersandar pada strategi perang konvensional semata. Ia memimpin rakyatnya untuk berdoa, mempersiapkan pertahanan kota, dan yang terpenting, mengingatkan mereka akan Allah yang Mahakuasa yang bersama mereka. Ia tahu bahwa kekuatan sesungguhnya bukan berasal dari jumlah pasukan atau persenjataan, melainkan dari hubungan pribadi dengan Sang Pencipta semesta. Inilah fondasi keteguhan mereka, yang tidak dapat dipahami oleh Sanherib yang hanya melihat dari sudut pandang kekuasaan materi.

Ayat ini mendorong kita untuk merefleksikan di mana kita menaruh kepercayaan kita di saat-saat sulit. Apakah kita mengandalkan kebijaksanaan kita sendiri, kekuatan finansial kita, jaringan sosial kita, atau bahkan keahlian kita? Atau, apakah kita, seperti Hizkia, berpaling kepada Tuhan, menyadari bahwa Dia adalah sumber kekuatan, perlindungan, dan harapan kita yang tertinggi? Sang raja Asyur mungkin menganggap pertanyaan itu sebagai bukti kebodohan umat Yerusalem, namun bagi umat Allah, pertanyaan itu justru menjadi pengingat akan perisai dan benteng mereka yang sejati. Keselamatan dan keteguhan mereka tidak bergantung pada kekuatan yang dapat mereka lihat, tetapi pada janji dan kesetiaan Tuhan yang tidak pernah gagal.