Kisah tentang Raja Manasye, sebagaimana tercatat dalam Kitab 2 Tawarikh pasal 33, adalah salah satu narasi paling suram namun juga penuh harapan dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Ayat kelima dalam pasal ini, "Ia mendirikan mezbah-mezbah bagi semua tentara langit di kedua pelataran rumah TUHAN," menjadi titik sentral yang menggambarkan kedalaman kemurtadan yang dilakukan oleh raja yang seharusnya memimpin umat Tuhan.
Manasye naik takhta pada usia muda, 12 tahun, dan memerintah selama 55 tahun. Namun, alih-alih melanjutkan warisan saleh ayahandanya, Hizkia, Manasye justru melakukan hal-hal yang sangat dibenci Tuhan. Tindakannya tidak hanya mengabaikan ibadah yang benar kepada Yahweh, tetapi secara aktif mempromosikan penyembahan berhala dan praktik-praktik najis lainnya yang sebelumnya telah dibersihkan oleh Hizkia.
Pendirian mezbah bagi "semua tentara langit" di kedua pelataran Bait Allah menunjukkan betapa beraninya Manasye menodai kesucian tempat yang paling sakral bagi bangsa Israel. Mezbah-mezbah ini bukan hanya simbol penolakan terhadap Allah yang Maha Esa, tetapi juga penyatuan praktik-praktik pagan yang berasal dari berbagai bangsa di sekitar Israel, termasuk penyembahan bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya. Bait Allah, yang seharusnya menjadi pusat penyembahan kepada Yahweh, justru diubah menjadi pusat penyembahan dewa-dewa asing.
Tindakan ini membawa dampak yang menghancurkan bagi bangsa Yehuda. Secara spiritual, mereka tersesat dari jalan kebenaran, dan kemerosotan moral serta etika menjadi semakin merajalela. Secara politis, kesetiaan Manasye kepada Tuhan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan mereka, malah berubah menjadi kelemahan. Kemurtadan ini menarik perhatian bangsa-bangsa lain, terutama Asyur, yang pada akhirnya membawa malapetaka dan pembuangan.
Kitab 2 Tawarikh mencatat bahwa Tuhan tidak tinggal diam terhadap dosa-dosa Manasye. Melalui para nabi-Nya, Tuhan memperingatkan Manasye dan umat-Nya, namun mereka tidak mau mendengarkan. Akhirnya, Tuhan mengizinkan raja Asyur untuk menangkap Manasye dan membawanya ke pembuangan di Babel, di mana ia mengalami penderitaan yang mendalam.
Namun, bagian yang paling luar biasa dari kisah Manasye bukanlah kejatuhannya, melainkan pemulihannya. Dalam kesengsaraannya di Babel, Manasye merendahkan diri di hadapan Tuhan, berdoa dengan sungguh-sungguh, dan memohon pengampunan. Mukjizat terjadi: Tuhan mendengarkan doanya, mengampuninya, dan memulihkannya kembali ke takhtanya di Yerusalem. Setelah pemulihan ini, Manasye menjadi raja yang berbeda. Ia membuang mezbah-mezbah berhala, memperbaiki mezbah Tuhan, dan mendorong umatnya untuk kembali beribadah kepada Yahweh.
Kisah 2 Tawarikh 33:5, meskipun singkat, adalah pengingat yang kuat tentang bahaya penyembahan berhala dan kemurtadan. Namun, lebih dari itu, kisah Manasye secara keseluruhan adalah bukti yang tak terbantahkan tentang kasih karunia dan kemurahan Tuhan yang luar biasa. Bahkan di tengah-tengah kegelapan dosa yang paling pekat, harapan untuk pertobatan dan pemulihan selalu ada bagi mereka yang dengan tulus berbalik kepada-Nya.
Gambar di atas adalah representasi visual dari bintang-bintang yang disembah oleh Raja Manasye. Keberadaan mezbah-mezbah bagi "tentara langit" di Bait Allah menunjukkan sejauh mana penyimpangan dan kesesatan yang terjadi. Manasye, yang seharusnya memimpin umatnya dalam penyembahan kepada Tuhan semata, justru mengalihkan fokus ibadah kepada ciptaan, yaitu bintang-bintang dan benda-benda langit.
Tindakan ini bukan hanya penghinaan terhadap otoritas Tuhan, tetapi juga pengkhianatan terhadap perjanjian antara Tuhan dan umat-Nya. Sejarah mencatat bahwa penyembahan berhala seringkali berujung pada kerusakan moral dan kehancuran spiritual. Di sisi lain, komitmen teguh kepada Tuhanlah yang seharusnya menjadi fondasi kekuatan dan keberlangsungan bangsa. Ayat 2 Tawarikh 33:5 berfungsi sebagai peringatan keras tentang konsekuensi dari penyimpangan dari jalan yang benar, namun juga sebagai awal dari kisah penebusan yang lebih besar bagi Manasye sendiri.