"Apabila ada kelaparan, penyakit sampar, hama, atau penyakit apa pun, jika ada bala tentara musuh mengepung kota, atau malapetaka apa pun yang menimpa, jika timbul musibah apa pun, maka terjadilah doa apa pun, permohonan apa pun, yang diajukan oleh setiap orang, oleh seluruh umat-Mu Israel, yang masing-masing mengetahui celaka di hatinya dan merentangkan tangan ke rumah ini,"
Ayat 2 Tawarikh 6:28 ini merupakan bagian dari doa yang dipanjatkan oleh Raja Salomo pada saat peresmian Bait Suci di Yerusalem. Ayat ini dengan jelas menggambarkan kondisi-kondisi krisis dan kesulitan yang dapat dihadapi oleh umat Tuhan, baik secara individu maupun kolektif. Kelaparan, wabah penyakit, serangan hama, ancaman dari musuh, hingga berbagai malapetaka lainnya adalah realitas yang seringkali tidak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Namun, di tengah gambaran kesulitan yang kelam ini, terselip sebuah pesan harapan yang kuat: bagaimana umat Allah merespons situasi-situasi tersebut.
Fokus utama dari ayat ini bukanlah pada kemunculan masalah itu sendiri, melainkan pada respons iman umat Tuhan terhadap masalah tersebut. Salomo menekankan bahwa ketika kesulitan-kesulitan itu datang, di mana setiap orang akan merasakan kepedihan dan ketidakpastian, langkah yang akan diambil adalah berdoa, memohon, dan merentangkan tangan ke arah Bait Suci. Ini menunjukkan sebuah kesadaran mendalam bahwa solusi sejati atas segala permasalahan tidak datang dari kekuatan manusia semata, tetapi dari kemurahan dan pertolongan Yang Maha Kuasa.
Perintah untuk merentangkan tangan ke Bait Suci bukanlah sekadar gerakan fisik, melainkan simbol dari penyerahan diri, kerendahan hati, dan pengakuan akan ketergantungan penuh kepada Tuhan. Di tengah ketidakberdayaan menghadapi bencana, doa menjadi jembatan yang menghubungkan manusia dengan sumber pertolongan yang tak terbatas. Setiap orang, tanpa terkecuali, merasakan penderitaan di dalam hatinya. Ini menekankan sisi kemanusiaan kita yang rentan, namun juga potensi iman yang dapat bangkit ketika kita berseru kepada Tuhan.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa Tuhan itu kasih dan berkuasa atas segala keadaan. Meskipun situasi tampak suram, firman-Nya memberikan janji bahwa doa yang tulus, yang berasal dari hati yang menyadari penderitaannya dan mencari pertolongan Tuhan, akan didengar. Bait Suci pada masa itu adalah lambang kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Karenanya, merentangkan tangan ke arahnya berarti mengarahkan hati dan segenap harapan kepada Allah yang bersemayam di sana. Di era modern ini, Bait Suci bisa dimaknai sebagai kehadiran Kristus yang selalu bersama kita, atau sebagai tempat kita berkumpul dalam doa bersama.
Sebagai kesimpulan, 2 Tawarikh 6:28 mengajarkan kita untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup. Sebaliknya, ayat ini menginspirasi kita untuk selalu mengarahkan pandangan dan hati kita kepada Tuhan melalui doa dan permohonan. Kepercayaan bahwa Tuhan akan mendengar dan memberikan pertolongan di tengah badai kehidupan adalah sumber kekuatan dan penghiburan yang sejati, yang membuat kita mampu melewati segala pencobaan dengan iman yang teguh.