Elihu melanjutkan perkataannya, katanya:
Kitab Ayub adalah sebuah karya sastra dan teologis yang mendalam, mengeksplorasi tema penderitaan, iman, dan keadilan ilahi. Dalam perdebatan panjang antara Ayub dan teman-temannya, muncul suara baru di akhir kitab ini: Elihu. Ayat pembuka Ayub 35:1 menandai dimulainya serangkaian perkataan Elihu, yang menawarkan perspektif yang sedikit berbeda dari para pendahulunya. Elihu memperkenalkan dirinya sebagai seorang pemuda yang telah mendengarkan percakapan sebelumnya, namun merasa terpanggil untuk memberikan pandangannya sendiri, yang ia yakini akan membawa pencerahan lebih lanjut.
Perkataan Elihu dalam pasal 35 ini berfokus pada konsep kebenaran, ketidakbersalahan, dan bagaimana tindakan manusia memengaruhi hubungan mereka dengan Tuhan. Ia menegaskan bahwa Tuhan itu Mahakuasa dan Mahatahu, dan bahwa kebenaran atau kesalahan manusia tidak memberikan keuntungan atau kerugian bagi Tuhan. Frasa "Elihu melanjutkan perkataannya, katanya" menunjukkan transisi penting dalam narasi. Ini bukan hanya sekadar penambahan, tetapi sebuah tahapan baru dalam upaya untuk memahami misteri penderitaan Ayub dan keadilan Allah. Elihu berusaha untuk mengarahkan fokus Ayub dari kesalahpahaman tentang keadilan ilahi menuju pengakuan atas kedaulatan dan kebijaksanaan Tuhan yang tak terselami.
Elihu sangat menekankan bahwa Tuhan tidak membutuhkan pembenaran dari manusia, dan tindakan baik atau buruk manusia tidak mengubah hakikat keilahian-Nya. Sebaliknya, ia berargumen bahwa tindakan manusia memiliki konsekuensi bagi diri mereka sendiri. Jika seseorang hidup benar, ia mendapatkan manfaat dari kedekatan dengan Tuhan. Jika seseorang hidup dalam kejahatan, ia menjauhkan diri dari berkat Tuhan dan mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Ini adalah penegasan kuat tentang akuntabilitas individu di hadapan Sang Pencipta. Ayub, dalam kesulitannya, mungkin merasa bahwa Tuhan tidak adil atau tidak memperhatikan penderitaannya. Elihu hadir untuk membantahnya, mengingatkan Ayub bahwa Tuhan berkuasa atas segala ciptaan dan memiliki rencana yang lebih besar.
Lebih jauh lagi, Elihu mencoba untuk menjaga integritas karakter ilahi. Ia tidak ingin ada anggapan bahwa Tuhan bersikap tidak adil atau memihak. Bagi Elihu, setiap orang bertanggung jawab atas pilihannya. Tuhan tidak "menang" jika Ayub mengakui kesalahannya, juga tidak "kalah" jika Ayub tetap mempertahankan ketidakbersalahannya. Yang terpenting adalah bagaimana Ayub merespons penderitaannya dan bagaimana ia memandang hubungannya dengan Tuhan. Ajaran Elihu ini mengundang pembaca untuk merefleksikan kembali pemahaman mereka tentang keadilan, penderitaan, dan kedaulatan Tuhan. Ini adalah ajakan untuk tidak hanya mengeluh tentang kesulitan, tetapi untuk mencari hikmat dalam firman-Nya dan mempercayai kebijaksanaan-Nya, bahkan ketika situasinya sulit dipahami. Dengan pemahaman ini, kita dapat melihat Ayub 35:1 bukan hanya sebagai permulaan sebuah dialog, tetapi sebagai pengantar menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara manusia dan Penciptanya yang Mahakuasa.