"Lalu kata orang Israel kepada Yefta: "Janganlah kiranya tuan murka, jika kami tidak segera menjawab tuan ini." Sesudah itu berangkatlah orang Israel dari sana."
Kisah Yefta, yang tercatat dalam kitab Hakim-hakim, merupakan salah satu narasi yang menarik dan penuh pelajaran tentang kepemimpinan, iman, dan konsekuensi dari sebuah janji. Ayat 18 dari pasal 11 ini memberikan gambaran sekilas tentang proses negosiasi dan penerimaan yang terjadi antara Yefta dan para tua-tua Israel. Ketika Yefta diundang untuk memimpin peperangan melawan bani Amon, ia tidak langsung menerima. Ia membutuhkan waktu untuk merespons, dan ayat ini menunjukkan bahwa para tua-tua memahami serta memberikan ruang bagi pertimbangannya.
Penundaan Yefta bukan berarti keraguan atau ketidakpedulian. Sebaliknya, hal ini bisa diartikan sebagai sebuah bentuk kebijaksanaan. Yefta, yang sebelumnya terusir dari rumahnya dan hidup sebagai buronan, tentu memiliki alasan kuat untuk berhati-hati. Ia perlu memastikan bahwa posisinya sebagai pemimpin bukan sekadar sebuah taktik sesaat, melainkan sebuah penugasan yang serius dan didukung sepenuhnya. Respons para tua-tua yang sabar dan pengertian, "Janganlah kiranya tuan murka, jika kami tidak segera menjawab tuan ini," menunjukkan adanya rasa hormat dan pengakuan atas posisi Yefta. Mereka memahami bahwa keputusan penting membutuhkan pertimbangan matang.
Kejadian ini menyoroti pentingnya komunikasi yang efektif dan saling pengertian dalam sebuah hubungan, terutama dalam konteks kepemimpinan dan tanggung jawab. Sikap Yefta yang meminta waktu untuk merenung, dan sikap para tua-tua yang memberikan kesempatan tersebut, mencerminkan sebuah dialog yang sehat. Mereka tidak memaksakan kehendak, melainkan membangun kepercayaan melalui proses yang terbuka.
Kisah Yefta sendiri kemudian berkembang menjadi sebuah kisah heroik di mana ia berhasil mengalahkan bani Amon. Namun, sebelum kemenangan itu, ada momen-momen penting seperti yang digambarkan dalam ayat ini, di mana keputusan besar diambil melalui proses yang didasari pertimbangan dan dialog. Ini mengajarkan kita bahwa di balik setiap tindakan besar, seringkali terdapat serangkaian diskusi, penimbangan, dan keputusan yang bijaksana.
Sikap Yefta yang kemudian mengajukan syarat kepada para tua-tua menunjukkan bahwa ia tidak hanya ingin menjadi pemimpin, tetapi juga ingin memastikan bahwa kepemimpinannya akan dihormati dan posisinya akan dijaga setelah peperangan usai. Ini adalah ciri kepemimpinan yang visioner, memikirkan tidak hanya tugas saat ini tetapi juga masa depan. Ayat 11:18 adalah sebuah pengingat bahwa sebelum tindakan heroik terjadi, ada proses persiapan yang melibatkan hikmah dan pengertian timbal balik. Kehidupan seringkali menawarkan kesempatan untuk refleksi, dan memahami kapan harus berbicara, kapan harus menunggu, serta kapan harus membuat sebuah kesepakatan, adalah kunci dari kebijaksanaan yang mendalam.