Lalu berkatalah Yefta kepada orang-orang itu: "Aku dan rakyatku berperang hebat melawan bani Amon; aku memanggil kamu, tetapi kamu tidak mau datang menyelamatkan aku.
Kitab Hakim-Hakim dalam Perjanjian Lama menceritakan kisah-kisah para pemimpin yang diangkat Tuhan untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan bangsa-bangsa lain. Salah satu kisah yang paling dramatis adalah tentang Yefta. Yefta adalah seorang Gilead, putra seorang perempuan sundal, yang karena latar belakangnya, diusir oleh saudara-saudaranya dan terpaksa mengungsi ke tanah Tob. Namun, ketika bani Amon bangkit memerangi Israel, para tua-tua Gilead menyadari bahwa mereka membutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan berani. Mereka teringat akan Yefta dan memohon agar ia kembali untuk memimpin mereka dalam peperangan.
Di dalam ayat Hakim-Hakim 12:3, kita mendapati Yefta sedang berbicara dengan para kepala suku Efraim. Bangsa Efraim, yang seharusnya bersatu dengan suku-suku lain di Gilead, tampaknya memiliki sikap yang berbeda. Mereka tidak hanya tidak membantu Yefta dan orang-orang Gilead dalam menghadapi ancaman besar dari bani Amon, tetapi mereka juga kemudian datang dengan tuduhan dan ancaman kepada Yefta setelah kemenangan diraih. Pernyataan Yefta di sini adalah sebuah penegasan yang tegas namun juga penuh kekecewaan. Ia mengingatkan mereka akan situasi genting yang dihadapi suku Gilead, di mana mereka berjuang "berperang hebat melawan bani Amon."
Kata "aku memanggil kamu, tetapi kamu tidak mau datang menyelamatkan aku" menyoroti kegagalan bangsa Efraim untuk memenuhi kewajiban persatuan dan dukungan antar suku Israel. Dalam masa krisis, kerjasama adalah kunci utama untuk kelangsungan hidup dan kemerdekaan. Yefta, meskipun di awal hidupnya mengalami penolakan, telah menerima panggilan untuk memimpin. Ia mengambil tanggung jawab penuh atas keselamatan bangsanya. Keberanian Yefta tidak hanya terlihat dalam menghadapi musuh, tetapi juga dalam menghadapi saudara sebangsanya yang bersikap acuh tak acuh atau bahkan menentang setelah ia berjasa.
Perkataan Yefta ini juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kritik pedas terhadap sikap Efraim yang datang belakangan setelah pertempuran usai. Seolah-olah mereka ingin ikut menikmati hasil kemenangan tanpa mau ikut menanggung risiko dan kesulitan dalam perjuangan. Sikap ini sering kali muncul dalam berbagai konteks, di mana pihak yang tidak berkontribusi dalam upaya awal justru ingin mengambil bagian dalam kesuksesan. Yefta dengan lantang menyatakan bahwa panggilan untuk membela tanah air dan bangsa tidak dijawab.
Kisah Yefta dan perseteruannya dengan suku Efraim mengajarkan kita tentang pentingnya solidaritas, tanggung jawab, dan kesediaan untuk bertindak di saat dibutuhkan. Keberanian seorang pemimpin sejati tidak hanya diuji dalam pertempuran melawan musuh luar, tetapi juga dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di antara bangsanya sendiri. Hakim-Hakim 12:3 menjadi pengingat bahwa panggilan untuk "menyelamatkan" terkadang datang dalam bentuk panggilan untuk bersatu dan saling mendukung, dan kegagalan dalam merespon panggilan tersebut dapat membawa konsekuensi yang pahit bagi persatuan dan kekuatan sebuah bangsa.
Simbol keadilan dan perlindungan, mencerminkan peran seorang hakim yang melindungi bangsanya.