"Dan berkatalah ia kepada ayahnya dan kepada ibunya: 'Aku melihat seorang perempuan di Timna, di antara anak perempuan orang Filistin; nikahilah dia untukku.' Tetapi ayahnya dan ibunya berkata kepadanya: 'Tidakkah ada seorang perempuan di antara saudara-saudarimu atau di antara seluruh kaumku, sehingga engkau pergi mengambil perempuan di antara orang-orang yang tidak bersunat itu?' Tetapi Simson berkata kepada ayahnya: 'Nikahilah dia untukku, karena ia berkenan di mataku.'"
Ayat-ayat yang tercatat dalam Kitab Hakim, khususnya pasal 14 ayat 14 hingga 16, membuka sebuah kisah tentang Simson, salah satu hakim Israel yang terkenal. Pada titik ini, Simson, yang dikenal akan kekuatannya yang luar biasa dan penugasannya sebagai nazir sejak lahir, menyatakan keinginannya untuk menikahi seorang perempuan Filistin. Keputusan ini, sebagaimana terlihat dari dialognya dengan orang tuanya, memicu kebingungan dan tentangan dari mereka. Pertanyaan mengapa Simson memilih seorang dari bangsa yang memusuhi bangsanya sendiri menjadi inti dari percakapan tersebut.
Visualisasi konsep keadilan dan otoritas.
Kisah Simson seringkali dilihat melalui lensa perjuangan identitas. Sebagai seorang nazir yang dipilih Tuhan, hidupnya seharusnya diabdikan untuk membebaskan umat Israel dari penindasan orang Filistin. Namun, keinginannya untuk menjalin hubungan pribadi dengan perempuan Filistin menimbulkan pertanyaan tentang komitmennya terhadap panggilannya. Apakah ini adalah godaan pribadi yang mengancam sumpahnya, ataukah sebuah strategi yang tidak konvensional untuk mendekatkan diri pada musuh? Ayat-ayat ini menyiratkan bahwa Simson sangat teguh pada keinginannya, menekankan bahwa perempuan itu "berkenan di mataku," sebuah ungkapan yang menunjukkan ketertarikan pribadi yang kuat.
Orang tuanya, meskipun mungkin khawatir akan implikasi sosial dan agama dari pernikahan ini, akhirnya menuruti keinginan Simson. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dan otoritas Simson, bahkan terhadap orang tuanya sendiri. Pilihan Simson untuk menikahi perempuan Filistin menjadi titik awal dari serangkaian peristiwa dramatis yang akan membentuk nasibnya dan interaksi antara Israel dan Filistin. Ia seringkali bertindak berdasarkan dorongan pribadi, yang terkadang selaras dengan kehendak Tuhan, dan terkadang tampak tidak demikian.
Peran seorang hakim dalam konteks Israel kuno sangatlah penting. Mereka bukan hanya pemimpin militer, tetapi juga pemimpin rohani dan pembela umat. Pemilihan Simson sebagai hakim dimulai dengan tanda-tanda ilahi, namun kemudian ia harus berjuang dengan kelemahan manusiawi dan godaan. Pernikahan yang ia inginkan ini, sebagaimana terungkap dalam pasal-pasal selanjutnya, akan membawa lebih banyak masalah daripada solusi, setidaknya pada awalnya. Namun, di balik semua kontroversi ini, ada pesan tentang bagaimana Tuhan dapat menggunakan individu yang tidak sempurna, dengan segala pergumulannya, untuk mencapai tujuan-Nya yang lebih besar.
Kisah Simson, seperti yang diuraikan dalam Hakim 14:14-16, adalah pengingat bahwa bahkan para pemimpin pilihan pun dapat menghadapi konflik internal dan membuat pilihan yang tampak bertentangan dengan panggilan mereka. Namun, pada akhirnya, cerita ini menunjukkan ketekunan Tuhan dalam bekerja melalui para hamba-Nya, menyoroti bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari fisik, tetapi juga dari iman dan kemampuan untuk mengenali dan menanggapi panggilan ilahi, meskipun melalui jalan yang berliku.