Imamat 21:19

"kecuali orang yang mendapat kecacatan pada tubuhnya, baik laki-laki maupun perempuan, mereka tidak boleh dibawa mendekati mezbah.

Makna Kesempurnaan dalam Persembahan

Ayat Imamat 21:19, yang merupakan bagian dari instruksi Allah mengenai kekudusan para imam, menetapkan standar yang sangat tinggi mengenai kesempurnaan fisik bagi mereka yang melayani di hadapan-Nya, khususnya saat mendekati mezbah untuk mempersembahkan korban. Peraturan ini bukan sekadar tentang penampilan luar, melainkan memiliki makna teologis yang mendalam mengenai sifat Allah dan bagaimana manusia seharusnya menghadapinya.

Allah adalah pribadi yang sempurna, kudus, dan tak bercela. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dibawa ke hadapan-Nya, terutama dalam konteks peribadatan, harus mencerminkan kesempurnaan-Nya. Para imam, sebagai perwakilan umat di hadapan Allah, memikul tanggung jawab besar untuk menjadi gambaran dari kekudusan ilahi. Kecacatan fisik yang disebutkan dalam ayat ini (seperti pincang, buta, tuli, atau memiliki cacat lahir lainnya) dianggap sebagai tanda ketidaksempurnaan yang tidak layak untuk tampil di area suci mezbah.

Tujuan di Balik Peraturan

Peraturan ini memiliki beberapa tujuan penting:

Relevansi di Era Perjanjian Baru

Bagi kita yang hidup di bawah Perjanjian Baru, pemahaman mengenai Imamat 21:19 perlu dilihat dalam terang karya penebusan Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Imam Besar yang sempurna, yang mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban yang tak bercela untuk menebus dosa-dosa kita. Melalui iman kepada-Nya, kita diundang untuk datang kepada Allah, bukan karena kesempurnaan fisik kita, tetapi karena kesempurnaan Kristus yang telah menutupi ketidaksempurnaan kita.

Dalam Perjanjian Baru, kita semua, sebagai orang percaya, dipanggil menjadi "imam-imam" yang kudus (1 Petrus 2:9). Ini berarti kita dipanggil untuk hidup kudus dan mempersembahkan hidup kita sebagai korban yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah (Roma 12:1). Meskipun standar kekudusan fisik tidak lagi menjadi batasan, panggilan untuk memiliki kekudusan moral dan spiritual tetap menjadi inti dari pelayanan kita kepada Allah. Kita harus terus berjuang untuk menyingkirkan "kecacatan" dosa dari kehidupan kita agar dapat melayani Allah dengan layak, berdasarkan anugerah-Nya melalui Kristus.