"Pada hari yang kedelapan Musa memanggil Harun dan anak-anaknya serta tua-tua Israel."
Ayat pembuka dari Imamat pasal 9 ini menandai sebuah momen krusial dalam narasi Israel kuno: dimulainya pelayanan Harun dan anak-anaknya sebagai imam-imam di hadapan TUHAN. Setelah serangkaian persiapan panjang, penunjukan, dan instruksi rinci yang diberikan Musa, tibalah saatnya untuk menerapkan semua yang telah diajarkan. Ketaatan yang diwujudkan dalam pemanggilan Harun, anak-anaknya, dan para tua-tua Israel bukanlah sekadar prosedur formalitas, melainkan sebuah fondasi penting untuk memelihara hubungan yang benar antara umat Allah dan Dia yang kudus.
Keluaran memaparkan kisah persiapan tabernakel dan penahbisan Harun. Imamat 9 melanjutkannya dengan tindakan nyata untuk mengintegrasikan keberadaan Allah dalam kehidupan bangsa Israel. Kata "kedelapan" dalam ayat ini merujuk pada hari setelah tujuh hari masa persiapan yang penuh dengan upacara pendahuluan. Ini menunjukkan bahwa TUHAN tidak terburu-buru, tetapi menginginkan segala sesuatu dilakukan dengan teliti dan sesuai perintah-Nya. Setiap langkah yang diambil oleh Musa dan Harun adalah wujud dari ketaatan yang mendalam, sebuah respons terhadap panggilan ilahi.
Ketaatan ini membawa konsekuensi yang luar biasa: kehadiran TUHAN sendiri akan dinyatakan secara lebih intim di tengah-tengah umat-Nya. Pemanggilan tua-tua Israel bersama Harun dan anak-anaknya juga menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan yang bertanggung jawab dan keterlibatan umat dalam ibadah. Ibadah bukan hanya urusan para imam, tetapi melibatkan seluruh komunitas. Ini adalah gambaran awal dari sebuah persekutuan yang dibangun atas dasar kekudusan dan pengorbanan.
Bagi kita hari ini, Imamat 9:1 mengingatkan bahwa ketaatan terhadap firman Tuhan adalah kunci untuk mengalami hadirat-Nya. Sebagaimana Harun dan keluarganya dipanggil untuk melayani TUHAN, kita sebagai orang percaya dipanggil untuk hidup dalam kekudusan dan mengabdi kepada-Nya melalui hidup kita. Ketika kita berusaha menaati perintah-Nya, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya kecil, kita membuka pintu bagi manifestasi kuasa dan kasih-Nya dalam kehidupan kita. Kehadiran-Nya bukanlah sesuatu yang otomatis, tetapi sebuah karunia yang diberikan bagi mereka yang dengan tulus hati mencari dan menaati-Nya. Mari kita merefleksikan bagaimana kita merespons panggilan Tuhan dalam hidup kita. Apakah kita bersedia untuk "dipanggil" dan dipersiapkan untuk melayani-Nya? Ketaatan yang dimulai dari hati akan membawa kita pada perjumpaan yang tak ternilai dengan Sang Pencipta.
Kisah dalam Imamat 9 ini menjadi pelajaran berharga bahwa ibadah yang benar haruslah berpusat pada instruksi ilahi. TUHAN sendiri yang menetapkan cara penyembahan yang berkenan kepada-Nya. Keberadaan tabernakel dan sistem imamat adalah sarana yang Dia berikan agar umat-Nya dapat mendekat kepada-Nya tanpa rasa takut, namun dengan rasa hormat yang mendalam. Hal ini mengajarkan kita pentingnya mendasarkan iman dan ibadah kita pada kebenaran firman Tuhan, bukan pada tradisi atau keinginan pribadi semata.