Dan apabila Musa selesai berbicara dengan mereka, ia menutupi mukanya dengan selubung.
Kisah Musa turun dari Gunung Sinai dengan wajah bersinar adalah salah satu momen paling ikonik dalam Kitab Keluaran. Peristiwa ini dicatat dalam pasal 34, dan ayat 33 memberikan penekanan pada tindakan Musa yang menutup mukanya. Apa yang terkandung dalam "keluaran 34 33" ini? Lebih dari sekadar detail cerita, ayat ini menyiratkan makna teologis yang mendalam tentang sifat kemuliaan Tuhan dan ketidakmampuan manusia fana untuk menanggungnya secara langsung dan terus-menerus.
Ketika Musa berbicara dengan umat Israel, wajahnya yang memancarkan kemuliaan Allah membuat mereka takut. Ini bukan ketakutan karena ancaman fisik, melainkan pengakuan akan kehadiran ilahi yang luar biasa. Kemuliaan Tuhan, yang dilihat Musa secara langsung di hadirat-Nya, meninggalkan jejak yang begitu kuat sehingga secara fisik memengaruhi penampilannya. Tindakan menutupi mukanya bukanlah karena malu, tetapi sebagai bentuk penghormatan dan juga untuk melindungi umat dari cahaya yang terlalu terang untuk mereka tanggapi.
Ayat ini, "keluaran 34 33", menjadi pengingat bahwa keilahian memiliki intensitas yang melampaui pemahaman dan kapasitas kita sehari-hari. Cahaya Tuhan bukanlah cahaya duniawi yang bisa kita pandang tanpa konsekuensi. Ia adalah cahaya yang menyucikan, menerangi, dan mengungkapkan kebenaran. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh reaksi umat Israel, kehadiran kemuliaan Tuhan secara langsung bisa jadi sangat luar biasa bagi indra manusia yang terbatas.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah ini berbicara tentang bagaimana kita sebagai manusia, meskipun telah menerima anugerah ilahi, perlu pendekatan yang bertahap dalam memahami dan mengalami keilahian. Musa sendiri harus belajar bagaimana membawa kemuliaan itu kepada umatnya tanpa membuat mereka gentar. Ia menjadi perantara, membungkus cahaya tersebut agar bisa diterima. Ini menunjukkan kebutuhan akan perantara dan cara-cara yang lebih lembut bagi Tuhan untuk berinteraksi dengan ciptaan-Nya yang jatuh.
"Keluaran 34:33" juga menginspirasi kita untuk merenungkan bagaimana kita membawa "cahaya" Tuhan dalam kehidupan kita. Apakah kita telah berinteraksi dengan sumber cahaya itu? Dan bagaimana kita menyampaikan terang itu kepada orang lain? Seperti Musa, kita mungkin tidak selalu bisa memancarkan kemuliaan Tuhan secara penuh dan terus-menerus kepada dunia, namun kita dipanggil untuk menjadi representasi-Nya, membawa pesan-Nya dengan cara yang dapat diterima dan dipahami oleh sesama. Ini adalah perjalanan iman yang terus-menerus, sebuah proses penyucian dan pengenalan akan keagungan Tuhan, yang selalu dimulai dengan kerendahan hati dan penghormatan yang mendalam.