Kisah Rasul 10:14

"Tetapi Petrus menjawab: 'Sekali-kali tidak, Tuan, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram atau yang najis.'"
P

Sebuah Perubahan Paradigma Ilahi

Kisah yang tercatat dalam Kitab Para Rasul pasal 10, khususnya ayat ke-14, membuka tirai tentang sebuah momen krusial dalam sejarah Kekristenan awal. Ayat ini merupakan ucapan Rasul Petrus yang mencerminkan pemahaman yang sudah mengakar tentang hukum-hukum Taurat yang membedakan antara makanan yang halal dan haram. Namun, narasi di balik ucapan ini jauh lebih mendalam, mengindikasikan sebuah pergeseran teologis yang signifikan yang akan mendefinisikan ulang identitas gereja dan jangkauan Injil Kristus.

Dalam konteks kisah ini, Rasul Petrus sedang berada di Yope, di rumah Simon, seorang tukang samak. Ia tengah dalam keadaan lapar dan berdoa ketika sebuah penglihatan datang kepadanya. Sebuah benda besar turun dari langit, menyerupai kain lebar yang diikat pada keempat sudutnya, dan di dalamnya terdapat berbagai macam binatang, reptilia, dan burung-burung. Suara ilahi kemudian memerintahkan Petrus, "Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah."

Respon Petrus, "Sekali-kali tidak, Tuan, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram atau yang najis," adalah respons yang sangat wajar bagi seorang Yahudi taat pada masa itu. Hukum Musa sangat ketat mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh umat Tuhan. Ketentuan ini bukan sekadar peraturan diet, melainkan juga simbol pemisahan antara umat Allah dengan bangsa-bangsa lain yang dianggap najis. Menerima atau memakan makanan haram berarti melanggar hukum ilahi dan merusak kesucian seseorang.

Namun, penglihatan itu terjadi sebanyak tiga kali, dan setiap kali suara ilahi mengingatkan Petrus, "Apa yang telah disucikan Allah, jangan kamu sebut najis." Perjuangan batin Petrus jelas terlihat di sini. Ia dihadapkan pada sebuah paradoks: perintah dari Tuhan yang tampaknya bertentangan dengan hukum yang telah lama dipegang. Inilah intisari dari pesan yang ingin disampaikan. Penglihatan tersebut bukanlah tentang makanan itu sendiri, melainkan sebuah gambaran simbolis yang kuat. Binatang-binatang yang turun dari langit mewakili bangsa-bangsa lain, orang-orang non-Yahudi, yang sebelumnya dianggap haram dan najis oleh umat Yahudi.

Pesan ilahi yang disampaikan melalui penglihatan ini adalah bahwa tidak ada lagi pemisahan antara Yahudi dan bukan Yahudi dalam anugerah keselamatan yang ditawarkan melalui Yesus Kristus. Allah tidak memandang bulu. Siapa pun yang percaya kepada-Nya, dari suku bangsa mana pun, akan diterima dan disucikan oleh darah Kristus. Perintah untuk "menyembelih dan makan" melambangkan penerimaan Allah terhadap orang-orang dari segala bangsa ke dalam persekutuan-Nya. Dan seruan "Apa yang telah disucikan Allah, jangan kamu sebut najis" adalah penegasan bahwa semua orang yang percaya kini telah disucikan oleh Allah.

Kisah ini menjadi titik balik yang monumental. Hal ini memungkinkan pewartaan Injil untuk meluas melampaui batas-batas etnis dan kebangsaan Yahudi. Rasul Paulus kemudian akan menjadi pelopor utama dalam membawa kabar baik ini kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, membebaskan mereka dari beban hukum Taurat dan merangkul mereka sebagai saudara seiman dalam Kristus. Rasul 10:14, meskipun diucapkan oleh Petrus dalam kebingungan awal, menjadi batu penjuru dalam pemahaman tentang universalitas kasih karunia Allah. Ia mengajarkan bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia diciptakan setara di hadapan takhta-Nya, dan keselamatan tersedia bagi siapa saja yang beriman, terlepas dari latar belakang mereka. Kebenaran ini terus bergema hingga kini, menginspirasi kita untuk merangkul keberagaman dan memahami kasih Allah yang tanpa batas.