"Dan ketika darah Stefanus, saksi-Mu itu, ditumpahkan, aku sendiripun hadir di sana dan menyetujui pembunuhannya dan menjaga jubah orang-orang yang membunuhnya."
Ayat yang kita renungkan hari ini, dari Kitab Kisah Rasul pasal 22 ayat 20, merupakan salah satu pengakuan paling jujur dan mendalam dari Rasul Paulus. Dalam konteks khotbahnya kepada orang-orang Yahudi di Yerusalem, Paulus menceritakan kembali masa lalu hidupnya sebelum ia mengalami perjumpaan transformatif dengan Yesus Kristus di jalan menuju Damsyik. Pengakuan ini bukan sekadar retrospeksi, melainkan sebuah kesaksian tentang bagaimana anugerah Allah sanggup mengubah hati yang paling keras sekalipun.
Ketika Paulus menyebutkan kalimat, "Dan ketika darah Stefanus, saksi-Mu itu, ditumpahkan, aku sendiripun hadir di sana dan menyetujui pembunuhannya dan menjaga jubah orang-orang yang membunuhnya," ia sedang mengungkapkan rasa bersalah dan pengakuan dosa yang mendalam. Stefanus adalah martir pertama dalam gereja Kristen. Kesyahidannya adalah peristiwa tragis yang dipicu oleh kebencian dan penolakan terhadap Injil. Paulus, yang saat itu masih bernama Saulus, merupakan tokoh kunci dalam penganiayaan terhadap orang Kristen. Kehadirannya dalam pembunuhan Stefanus bukan hanya sebagai penonton pasif, tetapi juga sebagai pemberi persetujuan, bahkan ia turut menjaga pakaian para algojo. Ini menunjukkan betapa ia terlibat dalam kekejaman tersebut.
Namun, kekuatan dari ayat ini terletak pada bagaimana Paulus menggunakannya untuk menggarisbawahi anugerah Allah yang luar biasa. Ia tidak berusaha menutupi kesalahannya, melainkan menggunakannya sebagai latar belakang untuk menunjukkan kebesaran penebusan Kristus. Paulus bersaksi, "Tetapi Ia (Tuhan) telah memilih aku, bahkan sebelum aku menjadi seorang anak dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya." Hal ini memberikan kontras yang tajam antara kegelapan masa lalunya dan terang Injil yang kini ia percayai dan sebarkan.
Kisah Rasul-Rasul 22:20 mengingatkan kita bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu jauh dari jangkauan kasih dan pengampunan Allah. Paulus, yang tadinya seorang penganiaya kejam, diubahkan menjadi rasul yang paling gigih memberitakan Injil. Perubahan ini bukan karena kehebatannya sendiri, melainkan karena kuasa ilahi yang bekerja dalam hidupnya. Ia menjadi bukti hidup bahwa anugerah Allah itu melimpah dan mampu menebus dosa sekecil apa pun, bahkan dosa yang tampak begitu mengerikan seperti yang dilakukannya terhadap Stefanus.
Bagi kita hari ini, kisah ini memberikan harapan. Mungkin ada hal-hal di masa lalu kita yang membuat kita merasa malu atau bersalah. Mungkin kita pernah menyakiti orang lain, atau bahkan menolak kebenaran. Namun, seperti Paulus, kita diundang untuk membawa pengakuan dosa kita kepada Tuhan dan menerima pengampunan yang Dia tawarkan melalui Yesus Kristus. Kesaksian Paulus adalah bukti nyata bahwa Tuhan dapat menggunakan bahkan orang yang paling berdosa sekalipun untuk tujuan-Nya yang mulia. Kita diajak untuk merenungkan bagaimana anugerah Allah bekerja dalam hidup kita, mengubah kita dari dalam ke luar, dan memberikan kita kekuatan untuk menjadi saksi-Nya di dunia ini.
Mari kita belajar dari Paulus untuk tidak malu mengakui dosa kita, tetapi justru menggunakan pengakuan itu sebagai batu loncatan untuk mengalami kebesaran anugerah Allah. Biarlah hidup kita, seperti hidup Paulus, menjadi kesaksian yang hidup tentang kuasa penebusan dan transformasi Kristus.
Untuk informasi lebih lanjut tentang kisah para rasul, Anda bisa membaca lebih banyak di Kisah Para Rasul.