Kisah Rasul pasal 26 mencatat sebuah momen krusial dalam kehidupan Rasul Paulus. Di hadapan Raja Agripa II, ia menceritakan kembali perjalanan imannya, dari seorang penganiaya gereja menjadi pemberita Injil yang gigih. Ayat kesepuluh dalam pasal ini, "Dan justru itulah yang telah kulakukan di Yerusalem: banyak orang kudus telah kurantai dalam penjara, dan setelah mereka dihukum mati, akulah yang menyetujuinya," memberikan gambaran yang tajam tentang betapa radikal dan fanatiknya Paulus sebelum pertemuannya dengan Kristus di jalan menuju Damsyik.
Pengakuan ini bukan sekadar pengakuan dosa, melainkan sebuah kesaksian yang menggambarkan kedalaman penyesalannya dan pemahaman akan kesalahannya yang besar. Kata "orang kudus" yang digunakan untuk menyebut pengikut Kristus pada masa itu menunjukkan bahwa mereka dianggap suci, terpisah, dan milik Tuhan. Namun, bagi Paulus yang saat itu masih bernama Saulus, mereka adalah ancaman terhadap tatanan agama Yahudi yang ia junjung tinggi. Ia melihat gerakan Kristus sebagai bidat yang perlu dimusnahkan.
Rantai dan penjara adalah metode yang digunakan untuk menindas dan mengisolasi para pengikut Kristus. Konsekuensi yang lebih mengerikan adalah persetujuannya atas hukuman mati. Ini menyiratkan bahwa Saulus tidak hanya pasif dalam penganiayaan, tetapi secara aktif terlibat, memberikan suara persetujuannya, dan bahkan mungkin berperan dalam memfasilitasi eksekusi tersebut. Bayangkan beban moral dan psikologis yang harus dipikul seseorang setelah menyadari bahwa ia telah berperan dalam kematian orang-orang yang tidak bersalah, apalagi orang-orang yang disebut sebagai "orang kudus."
Pengakuan ini menjadi kontras yang mencolok dengan semangat dan kasih yang kemudian dipancarkan oleh Paulus. Ini menunjukkan bahwa transformasi spiritual yang dialami Paulus bukanlah hal yang dangkal. Ia sungguh-sungguh memahami betapa mengerikannya perbuatannya di masa lalu. Pengalaman ini tidak membuatnya gentar, justru menjadi bahan bakar untuk pelayanan dan kesaksiannya. Semakin besar dosanya, semakin besar anugerah Tuhan yang ia alami dan ingin ia sebarkan kepada orang lain.
Kisah Rasul 26:10 mengingatkan kita bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu jauh dari jangkauan anugerah Tuhan. Bahkan mereka yang paling teguh dalam penolakan dan penganiayaan, dapat diubahkan menjadi alat-Nya yang paling berharga. Paulus menggunakan pengalamannya ini untuk menunjukkan kepada Agripa dan yang lainnya bahwa ia kini bertindak atas dorongan hati nurani yang baru, yang telah dibentuk oleh perjumpaan langsung dengan Yesus Kristus. Ini adalah pelajaran berharga tentang penebusan, pengampunan, dan kekuatan transformasi yang dapat terjadi dalam kehidupan seseorang ketika ia berbalik kepada Tuhan.
Kisah ini juga menekankan bahwa kesaksian yang otentik sering kali melibatkan pengakuan akan masa lalu yang kelam. Kejujuran Paulus dalam mengakui perbuatannya di Yerusalem tidak mengurangi otoritasnya, malah justru memperkuat pesannya. Ini menunjukkan kerendahan hati dan ketergantungan totalnya pada kasih karunia Ilahi.
Simbol hati yang terbagi, melambangkan penyesalan dan transformasi.