"Tetapi tampillah juga beberapa orang dari golongan Libertini, yaitu orang-orang dari sinagoge yang disebut Libertini, dan orang-orang Kirene, dan orang-orang Aleksandria, dan orang-orang dari Kilikia dan dari Asia, [dan mereka datang berselisih dengan Stefanus]."
Kisah Para Rasul pasal 6 mencatat periode penting dalam sejarah gereja mula-mula. Setelah para rasul menunjuk tujuh diaken untuk melayani kebutuhan para janda Yunani yang terabaikan, fokus Injil terus berkembang pesat. Namun, pertumbuhan yang pesat seringkali membawa tantangan, dan ini tidak terkecuali bagi komunitas Kristen awal di Yerusalem. Ayat 9 dari pasal ini secara spesifik memperkenalkan kelompok-kelompok yang menentang para rasul dan ajaran mereka, khususnya Stefanus.
Ayat tersebut menyebutkan "golongan Libertini", "orang-orang Kirene", "orang-orang Aleksandria", serta "orang-orang dari Kilikia dan dari Asia". Siapakah mereka? Kaum Libertini (atau *Libertinus* dalam bahasa Latin) dipercaya adalah keturunan orang Yahudi yang sebelumnya diperbudak di Roma dan kemudian dibebaskan. Mereka memiliki sinagoge sendiri di Yerusalem, menunjukkan adanya komunitas diaspora Yahudi yang kuat di kota suci itu. Kirene dan Aleksandria adalah pusat-pusat Yahudi penting di Afrika Utara, sementara Kilikia dan Asia adalah wilayah di Asia Kecil yang juga memiliki populasi Yahudi yang signifikan.
Kehadiran individu-individu dari berbagai latar belakang geografis dan budaya ini dalam sinagoge menunjukkan keragaman dalam komunitas Yahudi di Yerusalem. Mereka semua adalah orang Yahudi, tetapi membawa serta pengalaman dan perspektif yang berbeda. Ketika mereka berhadapan dengan ajaran baru yang dibawa oleh para rasul, terutama yang diwartakan dengan penuh keyakinan oleh Stefanus, timbullah perselisihan.
Apa yang menjadi akar perselisihan ini? Kemungkinan besar, ajaran tentang Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah, serta penolakan terhadap tradisi dan hukum Taurat tertentu yang dianggap tidak lagi relevan dalam terang pengorbanan Kristus, menjadi poin gesekan utama. Para pemimpin sinagoge-sinagoge ini merasa ajaran Stefanus mengancam identitas Yahudi mereka dan keyakinan warisan nenek moyang.
Tantangan yang datang dari sinagoge Libertini dan kelompok-kelompok Yahudi lainnya ini menandai awal mula penganiayaan yang lebih terbuka terhadap gereja. Stefanus, yang diisi Roh Kudus dan penuh kasih karunia, tidak gentar menghadapi penolakan ini. Ia bahkan berupaya meyakinkan mereka melalui argumen-argumen teologis yang kuat, seperti yang tercatat dalam khotbahnya yang panjang di pasal 7 Kisah Para Rasul. Namun, penolakan mereka semakin keras, yang pada akhirnya berujung pada kesaksian syahid Stefanus.
Kisah ini mengajarkan kita beberapa hal penting. Pertama, penyebaran Injil seringkali akan disambut dengan penolakan dari mereka yang merasa terancam oleh kebenaran baru. Kedua, pentingnya untuk memahami latar belakang budaya dan agama mereka yang kita ajak bicara, sekaligus tetap berpegang teguh pada kebenaran. Ketiga, keberanian dan iman seperti Stefanus dalam menghadapi permusuhan adalah teladan bagi setiap pengikut Kristus. Perselisihan ini, meskipun menyakitkan, justru menjadi katalisator bagi penyebaran Injil lebih luas, ketika para pengikut Kristus terpaksa melarikan diri dan membawa kabar baik ke tempat-tempat baru.