Maleakhi 3:14 - Kebaikan Tuhan Tak Terganti

"Kamu berkata: 'Adalah kesia-siaan berbakti kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dipelihara dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam?"

Kitab Maleakhi, sebagai penutup dari Perjanjian Lama, menyajikan dialog penuh tantangan antara Allah dan umat-Nya di masa pasca-pembuangan. Ayat 14 dari pasal 3 mencerminkan sebuah titik kritis dalam hubungan tersebut, di mana umat Allah menyuarakan keraguan dan keputusasaan. Mereka merasa usaha mereka dalam ketaatan dan ibadah menjadi sia-sia. Dalam pandangan mereka, memelihara perintah-perintah Tuhan dan menjalani kehidupan yang saleh terasa seperti mengenakan pakaian berkabung, sebuah simbol kesedihan dan kehampaan, tanpa melihat adanya berkat atau balasan yang nyata dari hadirat Tuhan semesta alam.

Pernyataan ini seringkali muncul ketika kita menghadapi kesulitan, ketidakadilan, atau ketika jawaban doa terasa tertunda. Adalah sangat manusiawi untuk merasa frustrasi ketika segala upaya telah dicurahkan namun hasilnya tidak sesuai harapan. Umat Allah di masa Maleakhi sedang bergumul dengan realitas yang terasa kontras dengan janji-janji Tuhan. Mereka melihat orang-orang yang tidak taat justru hidup makmur, sementara mereka yang setia harus menanggung beban. Perasaan ketidakadilan ini tentu saja mengikis semangat dan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kebaikan dan kuasa Tuhan.

Namun, di tengah keputusasaan dan keraguan ini, kita perlu melihat konteks yang lebih luas dari pesan Maleakhi. Allah tidak membiarkan pertanyaan umat-Nya tanpa jawaban. Melalui para nabi, termasuk Maleakhi, Allah senantiasa mengundang umat-Nya untuk melihat lebih dalam, untuk tidak hanya mengukur kebaikan-Nya dari kenyamanan duniawi semata, tetapi dari kebenaran dan kesetiaan-Nya yang abadi. Pesan ini mengingatkan kita bahwa hubungan dengan Tuhan tidak seharusnya didasarkan pada keuntungan transaksional, melainkan pada kepercayaan fundamental terhadap karakter-Nya yang Mahabaik dan Mahasetia.

Meskipun ayat ini menggambarkan keraguan, ia juga menjadi titik tolak untuk refleksi yang lebih dalam tentang iman. Pertanyaan yang diajukan oleh umat Allah sebenarnya membuka ruang bagi Allah untuk menyatakan kembali siapa diri-Nya. Kebaikan Tuhan tidak terikat pada situasi sesaat, melainkan pada jati diri-Nya yang tidak pernah berubah. Ia adalah Allah yang mengasihi, yang adil, dan yang memiliki rencana jangka panjang bagi umat-Nya. Kesulitan yang dihadapi umat di masa Maleakhi dapat dilihat sebagai ujian kesetiaan yang justru akan memurnikan iman mereka, membawa mereka pada pemahaman yang lebih dalam tentang arti sesungguhnya dari "berbakti kepada Allah."

Penting bagi kita untuk merenungkan makna dari ibadah yang tulus. Apakah ibadah kita hanya sebatas ritual, ataukah ia merupakan ekspresi dari hati yang berserah dan percaya? Ayat Maleakhi 3:14 menjadi panggilan untuk memeriksa kembali motivasi kita dalam beribadah. Kebaikan Tuhan, pada akhirnya, terwujud dalam keberadaan-Nya yang selalu menyertai, dalam hikmat-Nya yang tak terduga, dan dalam anugerah-Nya yang tak terhingga, bahkan di tengah badai kehidupan. Kebaikan-Nya tidak pernah lekang oleh waktu atau penderitaan; ia adalah fondasi iman yang kokoh.