Ayat yang terpilih dari Injil Markus pasal 9, ayat ke-6, ini menyajikan sebuah momen yang sangat manusiawi dan emosional dari seorang tokoh yang mendampingi Yesus. Dalam konteks peristiwa Transfigurasi, di mana Yesus menampakkan kemuliaan-Nya bersama Musa dan Elia, salah seorang murid, yang kemungkinan adalah Petrus, begitu terpesona dan kewalahan oleh pengalaman spiritual yang luar biasa itu.
Pernyataan "Sebab ia berkata demikian, karena ia mencemaskan orang-orang yang berkerumun itu dan ia tak tahu apa yang harus dikatakannya" menggambarkan sebuah kegelisahan mendalam. Mengapa seorang murid yang baru saja menyaksikan keajaiban ilahi justru merasa cemas dan bingung? Ini bukanlah kebingungan karena ketidakpahaman terhadap doktrin, melainkan kebingungan eksistensial. Ia melihat kemuliaan yang tak terperikan, namun di sisi lain, ia sadar akan realitas di bawah sana – orang banyak yang masih bergumul dengan kebutuhan, penyakit, dan dosa mereka. Ia ingin berbuat sesuatu, namun kemegahan momen itu membuatnya seolah kehilangan kata-kata dan cara bertindak yang tepat.
Perasaan cemas ini sangat relevan bagi banyak orang di zaman kita. Kita seringkali dihadapkan pada kenyataan hidup yang kompleks. Di satu sisi, kita mungkin mengalami momen-momen kedekatan dengan Tuhan, mendapatkan inspirasi, atau merasakan kedamaian yang luar biasa. Namun, di sisi lain, kita juga sangat menyadari adanya penderitaan di sekitar kita, ketidakadilan, atau pergumulan pribadi yang belum terselesaikan. Keresahan ini muncul bukan karena kita tidak percaya, melainkan karena hati kita tergerak oleh kasih. Kita ingin melihat perubahan, kita ingin menjadi bagian dari solusi, namun seringkali kita merasa tidak berdaya, tidak tahu langkah apa yang harus diambil, atau bahkan khawatir perkataan dan tindakan kita justru tidak membawa kebaikan.
Markus 9:6 mengingatkan kita bahwa bahkan mereka yang paling dekat dengan Yesus pun mengalami keraguan dan kebingungan. Pengalaman spiritual yang mendalam tidak serta-merta menghapus sisi kemanusiaan kita yang rentan. Sebaliknya, pengalaman tersebut justru seringkali memperdalam pemahaman kita tentang realitas kehidupan dan tanggung jawab kita di dalamnya. Ketidakmampuan untuk menemukan kata-kata yang tepat atau tindakan yang sempurna bukanlah tanda kegagalan, tetapi merupakan sebuah dorongan untuk terus mencari, terus belajar, dan terus bergumul dalam doa dan persekutuan.
Yang terpenting dari ayat ini adalah kesadaran akan "kecemasan". Kecemasan di sini bukanlah kecemasan yang melumpuhkan, tetapi kecemasan yang lahir dari kepedulian. Ini adalah dorongan untuk merespons realitas di sekitar kita dengan cara yang bermakna. Ketika kita merasa bingung atau tidak tahu harus berbuat apa, marilah kita mengingat ayat ini. Itu berarti kita sedang berada dalam proses pertumbuhan, sedang mencoba menyeimbangkan pengalaman ilahi dengan tanggung jawab duniawi. Dalam ketidakpastian itulah, seringkali kita belajar untuk lebih mengandalkan hikmat ilahi, lebih peka terhadap kebutuhan sesama, dan pada akhirnya menemukan cara untuk melayani dengan kasih yang tulus.
Mengalami momen seperti yang dialami murid dalam Markus 9:6 adalah bagian dari perjalanan iman yang otentik. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya berdiam diri dalam kekaguman spiritual, tetapi juga untuk merespons dengan kerendahan hati, mencari bimbingan, dan bertindak dalam kasih. Seperti yang Yesus lakukan, marilah kita belajar untuk mendengarkan, mengasihi, dan memimpin orang-orang yang dipercayakan kepada kita, bahkan ketika kita sendiri merasa tidak memiliki semua jawaban.