"Tetapi kata mereka: 'Tuan, apakah Tuan mau supaya kami pergi mencabut lalang-lalang itu?'"
Ayat Matius 13:28, yang merupakan bagian dari perumpamaan Yesus tentang penabur, mengangkat pertanyaan krusial yang diajukan oleh para hamba kepada tuannya. Dalam konteks perumpamaan yang lebih luas, sang tuan telah menabur benih baik di ladangnya, namun musuh telah datang dan menabur lalang di antara gandum. Ketika para hamba melihat kondisi ladang yang tercemar, naluri pertama mereka adalah untuk segera bertindak, membersihkan ladang dari gulma yang mengganggu. Mereka menawarkan diri untuk pergi mencabut lalang-lalang tersebut, sebuah tindakan yang tampak logis dan produktif dari sudut pandang manusia.
Namun, jawaban sang tuan dalam perumpamaan ini memberikan perspektif yang jauh lebih dalam. Sang tuan melarang hamba-Nya untuk mencabut lalang, dengan alasan bahwa dalam usaha mencabut lalang, mereka mungkin juga akan mencabut gandum yang baik. Ia memerintahkan agar keduanya dibiarkan tumbuh bersama sampai waktu panen. Barulah pada waktu panen, para pekerja akan memisahkan lalang dari gandum, lalu mengikat lalang untuk dibakar, dan mengumpulkan gandum ke dalam lumbung tuannya. Ayat 13:28, meskipun merupakan pertanyaan dari hamba, secara implisit membawa pesan tentang kebijaksanaan dan kesabaran ilahi dalam menghadapi keberadaan kejahatan dan ketidaksempurnaan di dunia.
Refleksi dari ayat ini mengundang kita untuk merenungkan cara kita bereaksi terhadap kejahatan atau 'lalang' yang kita lihat dalam kehidupan, baik di dalam diri sendiri maupun di sekitar kita. Seringkali, keinginan kita adalah untuk segera menghilangkan apa yang kita anggap buruk, tanpa mempertimbangkan potensi konsekuensi yang tidak diinginkan. Ini bisa mencakup penghakiman yang terburu-buru terhadap orang lain, atau bahkan upaya untuk "memurnikan" diri sendiri dengan cara yang keras dan tidak seimbang, yang justru dapat merusak pertumbuhan rohani yang sehat.
Perumpamaan ini mengajarkan kita bahwa dunia adalah ladang yang kompleks, tempat kebaikan dan kejahatan seringkali tumbuh berdampingan. Tuhan memiliki perspektif yang jauh lebih luas dan kekal. Ia memahami akar masalah, potensi pertumbuhan dari setiap benih, dan waktu yang tepat untuk setiap tindakan. Alih-alih terburu-buru menghakimi atau menghapus, kita dipanggil untuk bertumbuh dalam kesabaran, belas kasihan, dan kepercayaan pada kedaulatan-Nya. Kita didorong untuk fokus pada penaburan benih kebaikan dalam diri kita sendiri dan di sekitar kita, sembari berserah pada waktu-Nya untuk pemisahan akhir.
Oleh karena itu, ketika menghadapi situasi yang menunjukkan adanya 'lalang', pertanyaannya bukan hanya tentang bagaimana cara mencabutnya, melainkan juga bagaimana kita meniru hikmat sang tuan. Apakah kita mengutamakan pembersihan yang cepat dengan risiko merusak yang baik, atau kita memilih kesabaran dan keyakinan pada akhir yang adil? Ayat Matius 13:28, dengan kesederhanaannya, membuka pintu bagi pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana Tuhan bekerja di dunia, memanggil kita untuk hidup dengan iman, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam perjalanan spiritual kita. Kita adalah bagian dari ladang-Nya, dan panggilan kita adalah untuk bertumbuh dalam kasih dan kebenaran-Nya, menyerahkan pemisahan akhir kepada Dia yang Maha Mengetahui.