"Tetapi ketika orang-orang penyewa kebun itu melihat anak itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: ‘Ini adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisan ini menjadi milik kita.’"
Ayat Matius 21:38, yang merupakan bagian dari perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur, menyampaikan sebuah narasi yang kuat dan mendalam tentang penolakan dan pengkhianatan. Perumpamaan ini, yang diceritakan oleh Yesus, menggambarkan bagaimana pemilik kebun anggur yang memiliki dan mengurus kebunnya dengan penuh kasih, akhirnya dihadapkan pada kekejaman dan keserakahan dari mereka yang dipercayakan untuk mengelolanya. Ini adalah kisah tentang tanggung jawab yang disalahgunakan dan hak waris yang dirampas.
Dalam perumpamaan ini, sang pemilik kebun anggur menanam dan merawat kebunnya dengan baik. Ia membangun pagar di sekelilingnya, menggali tempat pemerasan anggur, dan mendirikan menara pengawas. Segala persiapan telah dilakukan untuk memastikan kebun itu berbuah lebat. Setelah semuanya siap, ia menyewakan kebun itu kepada para penggarap, bukan untuk memiliki kebun itu selamanya, melainkan untuk menerima bagian dari hasil panennya. Ini adalah sebuah perjanjian bisnis yang lazim, di mana sang pemilik berharap mendapatkan imbalan atas investasi dan usahanya.
Namun, ketika tiba waktunya untuk memanen hasil, sang pemilik mengutus para hambanya untuk mengambil bagiannya. Para penggarap, yang seharusnya bertanggung jawab dan jujur, malah menunjukkan sikap yang sangat tidak pantas. Mereka tidak hanya menolak memberikan hasil panen, tetapi juga menganiaya dan bahkan membunuh para hamba yang diutus kepadanya. Perilaku ini mencerminkan sebuah pemberontakan yang terang-terangan terhadap otoritas sang pemilik kebun.
Titik puncak dari kekejaman ini terjadi ketika sang pemilik memutuskan untuk mengutus anaknya, dengan harapan bahwa anak-nya akan dihormati. Alasan di balik keputusan ini adalah keyakinan bahwa anak sang pemilik memiliki otoritas yang lebih tinggi, dan kedatangannya akan membedakan antara kesalahpahaman dan niat jahat yang disengaja. Namun, seperti yang tertulis dalam Matius 21:38, para penggarap melihat anak itu dan berkata, "Ini adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisan ini menjadi milik kita."
Pernyataan ini sungguh mengerikan. Para penggarap tidak hanya mengabaikan kewajiban mereka, tetapi juga merencanakan pembunuhan terhadap ahli waris sah demi menguasai harta yang bukan milik mereka. Ini adalah gambaran tentang hati yang keras, keserakahan yang membutakan, dan penolakan total terhadap kebenaran dan keadilan. Mereka melihat hak waris sebagai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, bukan sebagai sebuah kepercayaan yang harus dijaga.
Dalam konteks spiritual, Yesus menggunakan perumpamaan ini untuk menunjuk kepada pemimpin-pemimpin agama pada zamannya, dan kepada Israel secara umum, yang telah menolak para nabi yang diutus Allah, dan akhirnya akan menolak Anak-Nya sendiri. Kebun anggur melambangkan umat Allah, dan para penggarap melambangkan mereka yang dipercayakan untuk membimbing umat. Penolakan terhadap anak sang pemilik adalah lambang penolakan terhadap Yesus Kristus, yang merupakan pewaris sejati dari kerajaan Allah. Tujuan dari penolakan ini adalah untuk mengambil alih otoritas spiritual, yang pada akhirnya akan membawa kehancuran.
Pesan dari Matius 21:38 ini tetap relevan hingga hari ini. Ia mengingatkan kita tentang bahaya keserakahan, pentingnya kejujuran, dan konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran. Ayat ini mendorong kita untuk merenungkan bagaimana kita mengelola kepercayaan yang diberikan kepada kita, dan bagaimana kita merespons panggilan dan otoritas yang lebih tinggi. Apakah kita bersedia untuk memberikan hasil yang benar, ataukah kita akan terjerumus dalam keserakahan dan penolakan yang merusak?