Ayat Mazmur 106:16 adalah pengingat yang tajam tentang sifat manusia yang rentan terhadap rasa iri dan ketidakpuasan, bahkan di tengah-tengah pengalaman rohani yang luar biasa. Ayat ini mencatat sebuah momen dalam sejarah bangsa Israel ketika mereka, yang baru saja mengalami pembebasan ajaib dari perbudakan Mesir, mulai menunjukkan kecemburuan yang tidak sehat terhadap pemimpin mereka, Musa dan Harun. Peristiwa ini terjadi di padang gurun, sebuah periode yang seharusnya dipenuhi dengan rasa syukur dan kepercayaan penuh kepada Tuhan yang telah memimpin mereka.
Apa yang membuat umat pilihan Tuhan merasa iri kepada Musa dan Harun? Mazmur ini tidak merinci setiap sebab, namun konteks umum dari Kitab Mazmur dan Kisah Para Rasul (yang mengutip ayat ini dan kejadian terkait) menunjukkan bahwa rasa iri ini muncul dari rasa tidak puas dengan cara Tuhan memimpin mereka dan mungkin dari persepsi bahwa Musa dan Harun menikmati kedudukan atau keistimewaan tertentu. Dalam banyak kasus, rasa iri muncul bukan karena seseorang memiliki sesuatu yang buruk, tetapi karena kita merasa apa yang dimiliki orang lain lebih baik, atau kita merasa tertinggal. Iri hati adalah racun yang menggerogoti hati, merusak hubungan, dan menjauhkan kita dari sukacita dan berkat yang Tuhan sediakan.
Fakta bahwa mereka iri kepada "Musa di dalam perkemahan" dan "Harun, orang kudus TUHAN" menunjukkan bahwa bahkan pelayanan yang didedikasikan dan diakui oleh Tuhan pun bisa menjadi sasaran kecemburuan. Musa adalah perantara utama antara Tuhan dan umat-Nya, berbicara langsung dengan Tuhan. Harun ditahbiskan sebagai imam besar, memiliki peran sakral dalam ibadah kepada Tuhan. Seharusnya, umat Israel melihat mereka sebagai wakil Tuhan yang setia, bukan sebagai objek iri hati.
Perasaan iri hati seringkali berakar pada rasa harga diri yang rendah atau rasa tidak aman. Ketika kita tidak yakin dengan nilai diri kita sendiri, kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain dan merasa kurang. Di padang gurun, bangsa Israel menghadapi tantangan dan ketidaknyamanan yang nyata. Alih-alih bersandar pada janji Tuhan dan pemimpin yang telah Dia tetapkan, mereka memilih untuk membiarkan emosi negatif menguasai mereka. Ini adalah sebuah peringatan keras bagi kita semua. Dalam perjalanan iman kita, mungkin ada saat-saat kita melihat orang lain diberkati lebih, memiliki karunia yang lebih menonjol, atau tampaknya lebih dekat dengan Tuhan. Godaan untuk membandingkan diri dan merasa iri bisa sangat kuat.
Namun, firman Tuhan melalui Mazmur 106 ini mengajarkan kita bahwa fokus pada kekurangan orang lain atau pada apa yang tampaknya dimiliki orang lain akan membawa kita pada kesia-siaan. Sebaliknya, kita dipanggil untuk mengucap syukur atas apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, untuk mempercayai rencana-Nya yang penuh kasih, dan untuk bersukacita atas berkat-berkat yang diterima saudara-saudari seiman kita. Mengembangkan hati yang bersyukur, merayakan kemenangan orang lain, dan mengakui bahwa setiap orang memiliki peran unik dalam Kerajaan Allah adalah cara untuk melawan akar iri hati.
Mazmur 106:16 bukanlah sekadar catatan sejarah kuno, melainkan sebuah cerminan abadi dari perjuangan spiritual manusia. Mengatasi iri hati membutuhkan kesadaran diri, kerendahan hati, dan komitmen untuk menempatkan kepercayaan pada kebaikan dan kedaulatan Tuhan. Ketika kita memilih untuk bersyukur dan merayakan berkat dalam kehidupan orang lain, kita membuka diri untuk menerima lebih banyak sukacita dan kedamaian dari Tuhan, serta membangun hubungan yang lebih kuat dengan sesama.
Penolakan terhadap iri hati dan ketidakpuasan adalah langkah penting dalam kedewasaan rohani. Ini memungkinkan kita untuk fokus pada panggilan unik yang Tuhan berikan kepada kita dan untuk melayani-Nya dengan hati yang tulus dan gembira. Mari kita renungkan Mazmur 106:16 ini dan memohon kepada Tuhan agar membersihkan hati kita dari segala bentuk iri dan membantu kita untuk hidup dalam kesatuan dan kasih.